Meski Sakit, Sutopo Purwo Hadiri Sidang Hukum Adat Dayak

Meski Sakit, Sutopo Purwo Hadiri Sidang Hukum Adat Dayak
Sutopo Purwo Nugroho (duduk bersandar, batik coklat) mengikuti proses hukum adat Dayak di Betang Jalan Sutoyo, Pontianak Selatan, Selasa siang (4/9). Foto: Andi Ridwansyah/Rakyat Kalbar

Misalnya dalam mencari lahan, tidak merusak lingkungan dan kehidupan. Sebelum beladang, berdoa dulu minta petunjuk boleh atau tidak di situ.

“Kalau boleh baru mereka menebas, setelah itu baru mereka membakar,” jelasnya.

Ketika membakar lahan, masyarakat Dayak selalu berhati-hati. Karena ketika api menjangkit ke ladang orang lain mereka akan diberikan sanksi adat. “Mereka harus mengganti kebun orang batang per batang apabila dia tidak benar-benar menjaga lahannya,” jelasnya.

Oleh karena itu, dalam pembakaran lahan, masyarakat Dayak tidak sembarangan. Lahan terlebih dahulu disekat sekitar dua meter sampai ke kulit tanah dan tidak ada lagi rerumputan. Kemudian lahan di sekelilingnya dibuat kolam-kolam kecil untuk menampung air. Ketika mau membakar harus melaporkan dulu kepada kepala desa.

"Setelah itu dibincangkan siapa yang berbatasan dengan ladangnya kiri kanan, depan belakang, bahkan satu kampung diumumkan, semua masyarakat bergotong royong melakukan penjagaan api,” ceritanya.

Selain itu dalam pembakaran juga melihat arah angin dengan memperhatikan kearifan lokal. Karena masyarakat adat Dayak sangat mencintai alam.

“Kalau hutan terbakar maka dia membunuh dirinya,” sebutnya. Terjadinya kabut asap, kata Yakobus, bersumber dari lahan gambut. Lantaran kedalaman lahan gambut bisa mencapai belasan meter. Sehingga tidak mampu dipadamkan jika sudah terbakar.

Masyarakat adat Dayak hanya berladang di tanah mineral. Untuk itu dia mengajak kepada pemerintah daerah untuk menjaga areal gambut jangan sampai terbakar, karena itulah sumber kabut asap.

Dalam kondisi sedang sakit, Sutopo Purwo Nugroho menghadiri sidang hukum adat Dayak di Kota Pontianak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News