MPR Gelar Simposium Sistem Perekonomian Nasional, Ini Rekomendasinya

MPR Gelar Simposium Sistem Perekonomian Nasional, Ini Rekomendasinya
Sekretaris Jenderal MPR RI Ma’ruf Cahyono. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Pengkajian MPR RI pada Rabu lalu (12/7) menggelar Simposium Nasional bertajuk Sistem Perekonomian Nasional Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Tujuan imposium itu adalah membahas Pokok-pokok Pikiran Sistem Perekenomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial berdasar UUD 1945. Para tokoh nasional pun ikut hadir dalam simposium itu seperti Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, Ketua MPR RI Zukifli Hasan, Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih.

Selain itu, ada pula kalangan ekonom yang hadir sebagai pembicara. Antara lain Prof. Didik J Rachbini, Prof Emil Salim, Prof Dr Sri Edi Swasono, Chairul Tanjung dan Tanri Abeng.

Sekretaris Jenderal MPR RI Ma’ruf Cahyono melihat simposium itu merupakan forum untuk menerima pemikiran-pemikiran dan masukan-masukan dari berbagai stakeholder terkait tema sentral simposium. “Masih terdapat masalah kesenjangan dan keadilan sosial dalam perekonomian nasional, menurut aspirasi masyarakat masih belum tercapai,” katanya.

Intinya, kata Ma’ruf, implementasi perekonomian nasional yang sesuai dengan Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 harus terus menerus diperjuangkan.  “Jika berbagai elemen masyarakat bilang implementasi belum terlihat. Pasti ada sesuatu yang terjadi dan harus dicari solusinya,” katanya.(adv/jpnn)

Rekomendasi hasil Simposium Nasional Sistem Pembangunan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial, Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

  1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dalam praktiknya ternyata sejumlah cabang produksi penting telah dikuasai oleh orang per orang. Oleh karena itu, Negara harus memastikan cabang produksi penting yang dimaksud melalui peraturan perundang-undangan, agar ketentuan tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan perwujudan kehadiran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Dalam praktiknya saat ini sudah terjadi privatisasi BUMN sehingga Negara tidak lagi sepenuhnya menguasai BUMN dimaksud. Untuk itu, peran BUMN perlu ditegakkan kembali sebagai badan usaha pemegang kuasa negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta pemegang kuasa negara atas pengelolaan bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Hanya BUMN yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh dimiliki oleh orang-seorang. Negara perlu segera melakukan penataan ulang kepemilikan BUMN dimaksud dan melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 menyangkut pengertian “dikuasai negara”.
  3. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ketentuan itu adalah koperasi. Dalam pelaksanaannya terdapat tiga pelaku usaha yaitu usaha Negara (BUMN), usaha swasta dan usaha koperasi. Peran koperasi sebagai bentuk usaha belum memberikan kontribusi optimal terhadap peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, karena koperasi hanya dijadikan simbol ekonomi kerakyatan bukan untuk dikelola secara profesional. Untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan maka wujud bangun usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan tersebut harus didefinisikan ulang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  4. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan lahan dan kekayaan alam belum mencerminkan keadilan, karena sebagian besar lahan dan kekayaan alam dikuasai oleh orang per orang. Oleh karena itu, Negara perlu menyempurnakan peraturan perundang-undangan menyangkut pembatasan kepemilikan, pemerataan distribusi dan penguasaan lahan serta kekayaan alam yang mencerminkan keadilan.
  5. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kerja sama pengelolaan sumberdaya alam selama ini sangat timpang, dan tidak sesuai dengan prinsip digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, karena negara tidak mendapatkan bagian yang seharusnya berdasarkan nilai sumberdaya alam yang dimiliki oleh Negara dan menjadi basis kerja sama tersebut. Negara perlu segera melakukan penataan ulang bentuk kerja sama tentang pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan didasarkan pada prinsip monetisasi potensi SDA dengan memandatkan pada BUMN terkait antara lain meninjau ulang sistem production sharing and cost recovery.
  6. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Demokrasi ekonomi dimaksud sebagai produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas. Prinsip efisiensi berkeadilan justru memperkuat upaya produksi berdayasaing namun tetap memprioritaskan keadilan bagi kepentingan orang per orang. Jika ada pilihan kebijakan antara efisiensi dan keadilan maka harus dipilih keadilan sebagai prioritas kebijakan.
  7. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Dalam hal-hal tertentu terjadi pengambilalihan kepemilikan secara paksa atas nama Negara, atau pengalihan kepemilikan karena ketidakmampuan membayar pajak yang tidak adil. Oleh karena itu Negara dalam hal penetapan kebijakan perpajakan maupun kebijakan perizinan tata ruang harus memperhatikan prinsip keadilan dan tidak boleh sewenang-wenang.
  8. Kebijakan subsidi merupakan nafas dari sistem ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam praktiknya, kebijakan subsidi tidak tepat sasaran, sehingga tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Bahkan subsidi dianggap menjadi beban keuangan Negara, karena itu kebijakan subsidi cenderung ditiadakan.  Negara perlu menegaskan bahwa kebijakan subsidi tetap dibutuhkan dalam mendukung upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dengan menyempurnakan sistem dan mekanisme penyaluran subsidi agar tepat sasaran.
  9. Bahwa penerapan kebijakan ekonomi tidak sejalan dengan pasal-pasal perekonomian dalam konstitusi, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial.  Untuk mengoreksi penyimpangan tersebut, Negara harus segera melakukan legislative review atas berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi yang mendukung peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Negara memastikan agar segala peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi selanjutnya tetap terjaga konsistensinya dengan pasal-pasal konstitusi.

 


Lembaga Pengkajian MPR RI pada Rabu lalu (12/7) menggelar Simposium Nasional bertajuk Sistem Perekonomian Nasional Untuk Mewujudkan Kesejahteraan


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News