Nasionalisme Bola

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Nasionalisme Bola
Ilustrasi perempat final EURO 2020. Foto: Twitter@EURO2020

Selama beberapa minggu musim panas ini, stadion-stadion di Austria dan Swiss, belum lagi jalan-jalan di ibu kota negara-negara Eropa dari Madrid hingga Moskow, dipenuhi oleh bendera negara yang melambai-lambai, melantunkan lagu kebangsaan, tabuhan drum yang menggelorakan patriotisme.

Baca Juga:

Kemenangan Spanyol adalah salah satu kesempatan langka Catalonia, Castilians, Basque dan Andalusia meluapkan ledakan kegembiraan patriotik. Meskipun saat ini kesebelasan Spanyol tidak diperkuat oleh satu pemain Real Madrid, tetapi hal itu tidak mengurangi luapan kebanggaan nasional Spanyol ketika menang dramatis 5-3 atas Kroasia.

Ian Buruma dalam kolom "Europe’s Soccer Nationalism" di The Globe and Mail mengatakan, sepak bola, lebih dari sekadar olahraga, ia perlambang tribalisme: usaha kolektif, warna tim, kecepatan, serangan fisik.

Seperti yang pernah dikatakan pelatih sepak bola Belanda: “Sepak bola adalah perang.” Agak mengerikan.

Seharusnya tidak begitu. Setelah dua kali perang dunia, gambaran semangat nasional menjadi kurang tabu di Eropa.

Nasionalisme disalahkan karena hampir menghancurkan Benua Biru ini dua kali sepanjang abad ke-20.

Perang Eropa yang disulut oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis dan Adolf Hitler dari Jerman berniat menyatukan Eropa, tetapi ternyata malah mencabik-cabiknya berkeping-keping.

Namun, ritual penghancuran itu selalu muncul mencari pelampiasan setiap empat tahun sekali di stadion-stadion Eropa yang menggantikan palagan perang.

Euro 2020 akan menjadi momentum penting nasionalisme baru Eropa. Mungkin, juara baru akan lahir.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News