Pakar Sebut Cara Kejaksaan Menangani Kasus Jiwasraya dan Asabri Ganggu Pemulihan Ekonomi

Pakar Sebut Cara Kejaksaan Menangani Kasus Jiwasraya dan Asabri Ganggu Pemulihan Ekonomi
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: Ricardo/jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Penyitaan aset kasus korupsi Jiwasraya-Asabri makin santer memunculkan protes di kalangan masyarakat. Kejaksaan Agung pun berpotensi melanggar HAM dalam aksi penyitaan hingga perampasan aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi tersebut.

Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Garnasih pun angkat bicara mengomentari polemik tersebut. Menurut dia jika penyidik menggunakan instrumen UU tindak pidana pencucian uang, maka aset yang disita haruslah harta kekayaan yang berasal dari kejahatan korupsi itu.

"Dan betul-betul harus dicari buktinya bahwa aset yang disita berasal dari kejahatan korupsi. Sehingga hanya harta kekayaan yang murni asalnya dari korupsi kasus tersebut yang layak disita. Pastinya  aset itu didapatkan terdakwa setelah terjadinya korupsi. Nah ini yang harus betul-betul clear, JPU harus betul-betul bisa menyampaikan hasil penelusurannya berikut dengan bukti-buktinya di dalam peradilan," kata Yenti di Jakarta, seperti yang dikutip pada webinar ‘Abuse Of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum’, Senin 9 Agustus 2021.

Yenti yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) menambahkan, perlu ada pembuktian oleh JPU mengapa ada aset pihak ketiga yang ikut disita dan dilelang dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya maupun Asabri. Sebabnya, ada hak seseorang secara perdata dalam sebuah kepemilikan aset. Apalagi, lanjutnya, aset tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara.

"Mereka inilah yang harus dilindungi hak-haknya. Apalagi mereka tidak berkaitan dengan pihak yang masuk kepada tindak pidana korupsi nya, untuk itu kan ada yang namanya hukum acara sehingga para penegak hukum tidak dianggap melakukan abuse of power," jelasnya.

Dalam tindak pidana korupsi, Yenti menyebut, sebenarnya ada perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut. Yakni pada pasal 19 UU Tindak Pidana Korupsi. Namun, belum terimplementasikan dengan baik di pengadilan.

"Ya kan secara logika Pasal 19 UU Tipikor ini menampung berbagai keberatan pihak ketiga, yang harapannya untuk mengetahui bisa nggak aset tak terkait perkara tersebut tidak dilakukan eksekusi dalam putusan hakim, itu kan gitu ya. Tetapi anehnya seperti tidak ada sinergi, terus terang jadi tidak masuk akal bagi saya, untuk apa ada pengadilan jika pada akhirnya hakim seperti enggan melindungi hak pihak ketiga sebagaimana diamanatkan undang-undang. Lalu untuk apa ada pasal 19?"

Sebagai informasi, berdasarkan perlindungan hukum pada pasal 19 UU Tipikor, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset oleh penyidik untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik.

Penyitaan aset kasus korupsi Jiwasraya-Asabri makin santer memunculkan protes di kalangan masyarakat

Sumber Antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News