Pengamat Ini Nilai Anggap Bioetanol Bukan Solusi Memperbaiki Kualitas Udara

Pengamat Ini Nilai Anggap Bioetanol Bukan Solusi Memperbaiki Kualitas Udara
Ilustrasi kualitas udara Jakarta. Foto: Natalia Laurens/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat energi Muhammad Badaruddin menilai perbaikan kualitas udara tidak sebatas pada uji emisi kendaraan, rekayasa cuaca, mendorong penggunaan kendaraan umum, atau mengawasi industri.

Dia menuturkan pemerintah seharusnya bisa memperhatikan aspek kualitas bahan bakar minyak (BBM) kendaraan dalam memperbaiki kualitas udara.

Sebab, kata Badaruddin, kontributor emisi terbesar ialah sektor transportasi seperti tertuang dalam data Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Adapun, Siti pada tahun 2023 pernah melaporkan bahwa sektor transportasi berkontribusi sebesar 44 persen dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.

"Masalahnya bukan hanya pada persoalan mesin kendaraan yang kotor. Namun, juga disebabkan kualitas BBM yang tidak memenuhi standar Euro 4 yang telah ditetapkan oleh pemerintah," tutur pria yang karib disapa Badar ini di Jakarta, Sabtu (16/3).

Diketahui, BBM yang paling banyak dikonsumsi kendaraan di Indonesia ialah jenis Pertalite dan Pertamax. 

Menurut Badar, dua jenis bensin tersebut belum memenuhi standar bahan bakar jenis Euro 4 yang mampu mengeluarkan emisi lebih bersih.

Dia mengatakan Kementerian LHK di sisi lain telah mengeluarkan Peraturan yakni P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017.

Pengamat energi Muhammad Badaruddin menganggap bioetanol bukan solusi dalam memperbaiki kualitas udara. Kemudian apa jalan keluarnya?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News