Pengamat: Jangan Sampai Terjebak Utang

Pengamat: Jangan Sampai Terjebak Utang
Ilustrasi rupiah dan dolar. Foto: JPNN

Menurut Herry, indeks tersebut menggambarkan lesunya pesanan barang kepada industri manufaktur, sehingga berdampak terhadap penurunan aktivitas produksi sebagai respons terhadap melemahnya pesanan.

Selain itu, lanjut Herry, tekanan terhadap perekonomian bukan hanya datang dari neraca perdagangan yang buruk sehingga pada akhirnya menurunkan kualitas neraca pembayaran, tetapi juga posisi keuangan pemerintah yang kurang menggembirakan. Realisasi penerimaan negara hingga Juli 2019 hanya 49 persen dari total target. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sudah mencapai 52 persen.

Lemahnya penerimaan ini, ujar dia, sangat memengaruhi kas pemerintah atau yang biasa disebut dengan keseimbangan primer (primary balance). Sejak 2012, keseimbangan primer – penerimaan dikurangi belanja (tanpa memasukkan pembayaran utang) – sudah minus.

“Dengan kantong (pemerintah) yang minus itu, jalan yang mungkin diambil oleh pemerintah adalah utang baru dan menurunkan subsidi,” ungkapnya.

Herry memaparkan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah sudah memastikan mengurangi subsidi energy terutama untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG. Jika pada 2019 nilainya Rp100,7 triliun, kini tersisa Rp70 triliun.

“Konsekuensinya kan ada potensi kenaikan harga BBM, yang biasanya diikuti oleh harga barang dengan alasan ongkos transportasi naik,” katanya.
Nah, kata Herry, upaya lain untuk menambal kas yang negatif tersebut adalah dengan berutang. Menurut Herry, kondisi ini harus diantisipasi Indonesia agar tidak terjerat dalam jebakan utang.

“Utang untuk menambal kas yang minus ini kan seperti jebakan ‘lingkaran setan utang’, karena tidak bisa keluar dari jeratan. Melingkar di situ-situ saja, yaitu numpuk utang terus untuk membayar utang juga,” ujarnya.

Menurut dia, hingga Juli 2019 utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp 4.604 triliun. Sebagian besar atau 83 persen dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Data Bank Indonesia menyebutkan bahwa 59,27 persen pemberi utang adalah asing. Kondisi serupa juga terjadi di SBN, yaitu 51,12 persen dipegang oleh asing. Dominasi tersebut terjadi sejak 2017.

Menurut Herry, kondisi perlambatan perekonomian global antara lain terjadi akibat perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok yang hingga saat ini masih berlangsung.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News