Pengusaha Hiburan Tak Mau Bayar Royalti?

Pengusaha Hiburan Tak Mau Bayar Royalti?
Tempat Karaoke. ILUSTRASI. FOTO: Dok. Jawa Pos

Para pengusaha hiburan malam merasa keberatan atas tarif royalti Rp 50 ribu, sudah mengadakan pertemuan dengan LMKN untuk solusi terbaiknya.

"Kami sudah duduk bersama LMKN, dari 4 kali pertemuan masih saja deadlock, lantaran royalty yang harus dibayar 10 kali lipat lebih besar. Misalnya, ada 4000 room x Rp 50 ribu x setahun bisa Rp 700 miliar. Terlebih yang 2016 harus lunas dan 2017 harus bayar di muka, padahal jelas room kan belum dipakai, ” ucapnya.

Namun, yang mengherankan pengusaha juga, edaran dari Kementerian Pariwisata dan Pemerintah Daerah dari izin operasioalnya cukup mengherankan tempat usaha karaoke, tidak dikenal dengan istilah eksekutif karaoke room.

“Ini perlu clear. Instansi antarlembaga dan pemda perlu jelas juga. Kami sih ingin harga royalty yang rasional, misalnya Rp 20 ribu atau bisa disamain dengan tarif karaoke keluarga, ” katanya.

Sementara itu, Iyan, dari Wahana Musik Indonesia (Wami) menilai, bahwa kehadiran LMKN-LMK sangat membantu pengelolaan menjadi lebih mudah.

“Dampak positif dari UUHC yang baru dan melahirkan LMKN-LMK, jelas membuat penarikan royalty dari para user bisa mudah, “ katanya.

Jika dibandingkan sebelum ada UUHC, pengambilan royalty itu bisa berbeda-beda, misalnya, bulan ini oleh Wami kemudian bulan berikutnya KCI lalu RAI.

“Tapi setelah ada UUHC dan ada LMK-LMKN, tak hanya mudah karena Kordinator Penarik, Penghimpun dan Pendistribusian Royalti (KP3R) secara khusus melakukan penarikan royalty ke para user. Jadi satu pintu, ” katanya.

Ada tuduhan sebagian pihak terhadap pengusaha atau user hiburan yang menggunakan lagu di eksekutif karaoke room tidak mau membayar royalti. Padahal,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News