Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat

Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat
Pengalaman berbeda yang dialami MH Thamrin dengan kursi roda di Surabaya (kiri) dan dalam perjalanan di luar negeri. (Foto: Supplied)

Oleh karena itu Thamrin mengaku jika biaya hidup bagi seorang difabel di Indonesia menjadi cukup mahal.

"Karena untuk bepergian misalnya, sulit untuk menggunakan transportasi umum seperti bus. Terpaksa harus menggunakan taksi yang relatif lebih mahal.

"Ringkasnya di negeri kita masih sulit bagi difabel untuk bepergian sendiri karena banyak fasilitas yang tidak mendukung. Pedesterian yang tidak ramah sampai transportasi yang juga kurang ramah," jelasnya.

Namun ada beberapa hal positif yang dilihatnya dalam beberapa tahun dalam fasilitas transportasi, seperti kereta komuter di Jakarta (MRT) atau di Palembang (LRT), meski ia mengatakan rutenya masih terbatas.

'Lebih sering tampil' untuk memberi pemahaman

Luthfi Azizatunnisa' adalah seorang dosen muda di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 2019.

Menurutnya ia adalah pengguna kursi roda pertama yang diterima menjadi dosen di Fakultas Kedokteran.

Luthfi memiliki kondisi tetraplegia dengan kelumpuhan anggota gerak tangan dan kaki.

"Jari-jari tangan saya masih lemah dan genggaman saya juga masih lemah, sehingga saya mengayuh kursi roda dengan telapak tangan," kata Luthfi kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Memperingati Hari Difabel Internasional yang jatuh pada 3 Desember setiap tahunnya, ABC Indonesia berbicara dengan mereka yang hidup dengan disabilitas dan aktif di perguruan tinggi

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News