Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat

Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat
Pengalaman berbeda yang dialami MH Thamrin dengan kursi roda di Surabaya (kiri) dan dalam perjalanan di luar negeri. (Foto: Supplied)

Berbeda dengan Thamrin dan Lutfi yang sudah bekerja sebagai dosen, Laura Dinda masih menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi UGM sejak tahun 2017.

Laura menggunakan kursi roda karena ketika berusia 15 tahun, setelah dia jatuh terpeleset di kamar mandi menjelang lomba Pekan Olahraga Daerah Jawa Tengah.

"Satu bulan kemudian saya mengalami kesakitan pada bagian paha. Saya akhirnya meminta untuk dibawa ke rumah sakit."

"Setelah tiga hari opname akhirnya ditemukan bahwa tulang belakang saya patah dan beberapa pecahan tulangnya menusuk saraf paha bagian kanan.

Karena keterlambatan penanganan dan adanya kompliklasi saraf, saya akhirnya mengalami disabiltas," kata Laura kepada ABC Indonesia.

Laura sudah menekuni cabang olahraga renang sejak kecil dan menggunakan jalur olahraga prestasi untuk bisa masuk ke perguruan tinggi seperti UGM dimana kedua orangnya juga pernah mengenyam pendidikan di tempat yang sama.

Setelah menjadi mahasiswa, Laura masih aktif sampai saat ini sebagai atlet renang .

"Setelah menjadi difabel, saya pertama kali mengikuti lomba lagi pada PEPARNAS (Pekan Paralimpiade Nasional) XV 2016 dan mendapatkan 2 emas 1 perak," katanya.

Memperingati Hari Difabel Internasional yang jatuh pada 3 Desember setiap tahunnya, ABC Indonesia berbicara dengan mereka yang hidup dengan disabilitas dan aktif di perguruan tinggi

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News