Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA

Agar Ayah Tak Harus Jadi Turis untuk Momong Anak

Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA
GLOBAL CITIZEN: Rulita Anggraini dan suaminya, Mark Winkel, bersama tiga buah hati mereka di kediamannya di kawasan Manggarai, Jakarta. Foto: Miftahul Hayat/Jawa Pos

Persoalan kepemilikan properti tersebut saat ini tengah ramai dibicarakan. Sebab, salah seorang anggota Perca yang bernama Ike Farida mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ike yang juga seorang pengacara menggugat UU Perkawinan dan UU Agraria terkait WNA yang menikah dengan orang Indonesia tak bisa memiliki hak atas tanah berupa hak milik (HM) dan hak guna bangunan (HGB).

”Jadi, ceritanya, dia ini (Ike) sudah membeli satu unit rumah susun. Setelah semua persyaratan lengkap, dia langsung membayar lunas. Namun, tidak lama setelah urusan beres, yang bersangkutan dihubungi lagi oleh pihak pengembangnya bahwa dia tidak bisa membeli rumah susun itu dan uangnya akan dikembalikan karena dia menikah dengan WNA. Tapi, dia enggak mau dan memilih maju ke MK. Kami Perca sangat mendukung itu,” bebernya.

Ketua Perca 2014–2016 Juliani Luthan menambahkan, saat ini persoalan kepemilikan properti yang tengah diperjuangkan pihaknya. Dia menilai para pelaku perkawinan campuran seperti dirinya dirugikan dengan adanya larangan bagi WNI yang menikah dengan WNA memiliki properti berupa tanah atau bangunan.

”Yang menjadi tantangan kami yang paling besar saat ini ya masalah kepemilikan properti ini. Karena itu, kami sampai menggalang petisi terkait kasus Ike Farida yang menggugat UU Perkawinan dan UU Agraria ke MK,” ujar perempuan yang bersuami WNA asal Jepang tersebut.

Menurut Juliani, saat memutuskan menikah dengan orang asing, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Karena menyatukan dua orang beda negara, pernikahan itu juga harus didaftarkan di dua negara. Proses pendaftaran pernikahan tersebut juga harus mengikuti aturan masing-masing negara. Perempuan 45 tahun itu mengaku bersyukur karena persyaratan pendaftaran pernikahan di negara asal suaminya, yakni Jepang, tidak ruwet.

”Mungkin karena sistem administrasi kependudukannya sudah sangat rapi. Jadi, begitu kami mau menikah, ya dia dikeluarkan dari kartu keluarga sebelumnya dan dibikinkan kartu keluarga baru. Dari kartu keluarga lama tersebut, kita juga bisa tahu apakah calon suami kita itu masih lajang atau sudah menikah,” terangnya.

Hal tersebut berbeda dengan proses pendaftaran pernikahan bagi WNA asal Prancis. Rulita melanjutkan, jika ada WNI yang akan menikah dengan lelaki Prancis, dua bulan sebelum pernikahan tersebut akan ada pengumuman di sejumlah media pemerintah terkait status lajang lelaki itu.

”Jadi, kayak ada pengumuman bunyinya begini, lelaki ini masih lajang dan dia akan melakukan pernikahan dengan orang ini, apakah ada yang keberatan. Kalau ada yang keberatan karena mungkin si lelaki ini ternyata sudah beristri, ya tidak dibolehkan menikah. Dan pengumuman ini dimuat di kedubes di sini dan di Prancis sana,” papar Rulita.

Dalam pernikahan beda bangsa, bukan hal mudah menyatukan dua budaya. Namun, yang tak kalah sulit adalah aturan hukum terkait kewarganegaraan hingga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News