Pesanan Baju Hazmat Macet, Puluhan Ribu Buruh Terancam di-PHK
jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta untuk memperhatikan nasib kaum buruh yang memproduksi baju hazmat untuk tenaga medis.
Sebab, banyak produsen baju hazmat dalam negeri yang merasa proses penyerapannya di Kemensos tersendat.
Hal itu disampaikan oleh salah satu produsen baju hazmat, Prima Pradana, dalam keterangannnya kepada awak media, di Jakarta, Sabtu (25/7).
Menurut Prima, saat wabah Covid-19, Kemensos meminta beberapa perusahaan untuk mempercepat produksi hazmat.
“Kami dengan segala cara mencoba memaksimalkan produksi baju hazmat apalagi seluruh dunia membutuhkan produk ini. Cuma sayangnya, ketika kami menepati apa yang sudah menjadi komitmen bersama, pemerintah kurang memperhatikan apa yang telah kami produksi. Persoalannya ada di tingkat penyerapan yang kurang sesuai dengan komitmen di awal, dari sisi ekonomi, kami sangat dirugikan," katanya.
Prima menambahkan, saat ini puluhan ribu buruh menggantungkan nasibnya kepada perusahaan. Namun perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa karena semua menunggu kepastian dari pemerintah.
“Di gudang kami saja masih menumpuk jutaan set baju hazmat, bahkan sampai tidak tertampung. Kami berharap pemerintah memberikan kepastian terkait hal ini,” ungkapnya.
“Kalau ini tidak kunjung selesai, kami terpaksa gulung tikar dan mau tidak mau kami harus membuat keputusan pahit PHK terhadap para buruh-buruh kami yang sudah maksimal memproduksi baju hazmat ini,” tambahnya.(mg7/jpnn)
Buruh produksi baju hazmat terancam di-phk lantaran penyerapan alat pelindung diri tersebut macet.
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh
- Kemenkes Butuh 5.500 Tenaga Kerja untuk 4 RS Baru Milik Pemerintah
- Vaksinasi Jadi Salah Satu Solusi Mencegah DBD
- KPK Cecar Dirut EKI Satrio Wibowo soal Pengadaan APD Covid-19
- Usut Kasus Korupsi Pengadaan APD Covid-19, KPK Periksa Dirut Energy Kita Satrio Wibowo
- Usut Kasus Korupsi APD di Kemenkes, KPK Periksa Anggota DPR RI
- Operasi Aman Nusa II Inovasi Kepolisian dalam Menangani Pandemi