Presiden Dinilai Kurang Melindungi Konstitusi
Senin, 22 Oktober 2012 – 06:17 WIB
“Bahkan, ketidaktoleransian publik terhadap isu perbedaan masih tinggi, yakni 31.2 persen. Ini menunjukkan kasus kekerasan primordial masih rawan,” ungkap Sopa.
Baca Juga:
Yang mencengangkan, lanjut Sopa, sebanyak 15 sampai 80 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Ada tiga jenis tetangga, yaitu Syiah, Ahmadiyah, dan homoseks yang mendapat prosentase penolakan yang tinggi. Sebesar 41,8 persen publik merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Syiah, 46,6 persen tidak nyaman bertetangga dengan orang Ahmadiyah dan 80,6 persen tidak nyaman berdampingan dengan orang yang memiliki hubungan sesama jenis (homoseks).
”Intoleransi terhadap keberadaan orang lain yang berbeda identitas meningkat dibanding survei yang sama yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2005. Pada 2005, LSI juga memotret perilaku keberagamaan dan diskriminasi dengan variable dan indikator yang sama,” katanya.
Saat itu, publik yang tidak nyaman terhadap tetangga yang berbeda identitas hanya 8-65 persen. Temuan survei tahun 2005 menunjukan mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang berbeda agama naik 8.2 persen, dari 6.9 persen menjadi 15.1 persen pada survei tahun 2012.
JAKARTA - Intoleransi di Indonesia dinilai semakin mengkhawatirkan. Salah satu dampaknya, jumlah kekerasaan atas nama agama kepada mereka yang berbeda
BERITA TERKAIT
- Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah Ungkap Tantangan untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2024
- Polresta Palangka Raya Usut Penyebab Kebakaran di Permukiman Padat Penduduk
- Anggota Dewas KPK Dilaporkan ke Bareskrim, Ini Kasusnya
- Gempa Magnitudo 5,3 Guncang Kabupaten Malang, Warga Diminta Waspada
- Siap-siap! TASPEN Bakal Salurkan Gaji Ke-13, Catat Tanggalnya
- Lemkapi Yakin Polri akan Menuntaskan Kasus Vina Cirebon dalam Waktu Dekat