Profesi Advokat Indonesia Kembali Dilecehkan?

Profesi Advokat Indonesia Kembali Dilecehkan?
Petrus Selestinus. Foto: Dok. JPNN.com

Ketentuan pasal 18 ayat (4) dan pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM, menyatakan: "setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat  penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap". Sedangkan pasal 73 menyebutkan bahwa Hak dan kebebasan yang diatur dalam UU ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU. Dengan demikian tidak boleh dibatasi dengan Peraturan di bawah UU apalagi dengan Perkaba.

"Apa yang dialami Advokat Petrus Bala Pattyona dan Saksi Brigjen Pol. Prasetyo Utomo, merupakan potret buram dalam Penegakan Hukum, bahkan menjadi tragedi Negara Hukum, karena pimpinan Penegak Hukum tidak taat lagi kepada Konstitusi, tidak taat pada Hirarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan sesuai UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, lantas membuat peraturan sendiri untuk melanggar HAM dan Hukum. Ini jelas sebagai bagian dari sikap Insubordinasi dalam hirarki Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," tegas Petrus Selestinus yang juga mantan Komisioner KPKPN itu.

Perkaba Bukan Peraturan Perundang-undangan

Di dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perkaba tidak masuk dalam kategori hirarki Peraturan Perundang-Undangan. Karena itu, tidak masuk di akal sehat publik, jika sekelas Institusi Polri, menganulir kekuatan berlakunya pasal tentang HAM dalam UUD 1945, KUHAP dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang melarang Saksi menggunakan Advokat selama pemeriksaan hanya dengan Perkaba.

"Ini menghina Konstitusionalitas Profesi Advokat sekaligus membelenggu Konstitusional Hak seorang Saksi, meskipun Kabareskrim berwenang membuat Peraturan seperti halnya Perkaba No. 3 Tahun 2013, namun demikian derajad dan konstitusionalitas Perkaba dimaksud hanya mengikat ke dalam Institusi Polri. Karenanya tidak mengikat pihak lain termasuk Advokat, Saksi bahkan Penyidiknya sendiri," tegas Petrus Selestinus.

Pasal 5 dan 7 KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2000 Tentang Polri, menegaskan bahwa seorang Penyidik, mempunyai wewenang antara lain "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab".

Dalam penjelasannya dimaknai: tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum dstnya; tindakan itu harus patut dan masuk akal dan seterusnya atas pertimbangan yang layak dan seterusnya, dan menghormati Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian, menurut Petrus Selestinus, Kabreskrim tidak punya pilihan lain selain mengembalikan Hak Saksi Brigjen Pol. Prasetyo Utomo, untuk tetap didampingi Penasihat Hukum saat diperiksa sebagai Saksi, mengingat seorang Saksi berpotensi menjadi Tersangka, apalagi Saksi Brigjen Pol. Prasetyo Utomo sudah berstatus Tersangka dalam perkara Tipikor yang sama dijadikan Saksi Mahkota. "Tentu saja wajib hukumnya untuk didampingi Penasihat Hukum Petrus Bala Pattyona dkk yang sudah ditunjuk," ujar Petrus Selestinus.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Tidak masuk di akal sehat publik, jika sekelas Institusi Polri, menganulir kekuatan berlakunya pasal tentang HAM dalam UUD 1945, KUHAP dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang melarang Saksi menggunakan Advokat selama pemeriksaan hanya dengan Perkaba.


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News