Pulihkan Pendengaran, Puasa Headset

Pulihkan Pendengaran, Puasa Headset
Ilustrasi : pixabay

jpnn.com - Mendengarkan musik melalui headset atau earphone bisa berdampak buruk pada kesehatan. Salah satunya karena volume suara yang cukup kencang.

Resvia misalnya. Pegawai swasta itu sempat mengalami gangguan pendengaran setelah libur Hari Raya Idul Fitri. Awalnya, telinganya sering berdenging dan terasa sakit. Apalagi ketika dia memasang headset untuk mendengarkan musik. Kebetulan alat tersebut hampir tidak pernah lepas dari telinganya. "Tiba-tiba kalau diajak ngomong itu nggak kedengeran jelas suaranya. Sampai saya sering ngerasasungkan kalau ngobrol sama orang," tuturnya. 

Frekuensi penggunaan headset sudah dikurangi. Tetapi, gangguan tidak juga hilang. Dengingan tersebut masih terdengar. Sementara itu, suara di sekitarnya juga terdengar samar.

Dia memutuskan berobat ke dokter spesialis telinga hidung tenggorok untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Beberapa tes pendengaran dijalani. Mulai mendengar bisikan, tes bunyi dengan garpu tala, hingga audiometri. Hasil tes menunjukkan, dia memang mengalami gangguan pendengaran meski masih ringan. "Akhirnya, saya mendapatkan obat dan harus puasa menggunakan headset atau teman-temannya selama sebulan," lanjutnya. 

Secara perlahan, fungsi pendengaran Resvia membaik. Kinerjanya di kantor pun tidak lagi terganggu. "Paparan bunyi dengan intensitas tinggi ini berisiko merusak pendengaran," ujar dr Rosa Falerina SpTHTKL. Suara yang terlalu keras akan mengganggu kerja sel rambut yang berada di rumah siput. Sel itu memiliki fungsi sebagai penerus gelombang suara dari telinga menuju saraf pendengaran.

Jika suara keras tersebut hanya berlangsung dalam waktu singkat, kerusakan biasanya bersifat sementara. Jika menjauh dari sumber suara, fungsi sel rambut akan kembali normal. Namun, jika frekuensinya terlalu sering dengan volume tinggi, kerusakan menjadi permanen. "Risiko paling fatal bisa menjadi tuli. Sifatnya permanen dan tidak bisa diobati," lanjut dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Universitas Airlangga itu. 

Jika terjadi pada usia remaja, proses pembelajaran akan terganggu. Hal itu tentu berdampak pada masa depan. Jika menyerang usia dewasa muda yang umumnya masih produktif, kinerja bisa terganggu.

Sebenarnya, lanjut Rosa, bukan hanya headset yang bisa menjadi gangguan. Sumber suara keras lain juga bisa menjadi faktor risiko. Misalnya, pekerja pabrik yang sering mendengar suara keras peralatan. Bisa juga pada musisi yang sering terpapar musik keras. Atau bahkan di area bermain modern di mal. "Batas normal pendengaran manusia itu adalah di bawah 80 desibel (dB). Dengan intensitas kebisingan segitu, batas aman paparan per hari adalah 24 jam," jelasnya. 

Penggunaan headset harus dibatasi. Biasanya, pada beberapa jenis gadget, ada peringatan jika suara melebihi ambang aman. "Kalau sudah rusak berat dan alat bantu dengar tidak berfungsi, jalan satu-satunya ya harus dilakukan implan koklea (rumah siput, Red)," sambungnya. (dwi/c6/dio) 

Namun, jika frekuensinya terlalu sering dengan volume tinggi, kerusakan menjadi permanen


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News