Reformasi Fiskal melalui Penyederhanaan Cukai Cederai Struktur IHT Indonesia

Reformasi Fiskal melalui Penyederhanaan Cukai Cederai Struktur IHT Indonesia
Ilustrasi industri pengolahan hasil tembakau. Foto: Humas Bea Cukai

1.     Struktur pasar IHT bersifat oligopoli ketat. Saat ini terdapat empat pemain besar yang menguasai pasar rokok di Indonesia yang hanya menyisakan 17,2 persen pangsa pasar untuk pemain di tingkat kecil-menengah.

2.     Kenaikan cukai mempengaruhi harga dan hilangnya varian brand rokok. Kenaikan cukai rokok jenis SKM dapat menghilangkan sekitar enam varian brand di pasar. Sedangkan untuk rokok jenis SPM, kenaikan cukai sebesar 8,3 kali lipat akan menghilangkan satu varian brand. Pada jenis rokok SPT, kenaikan harga transaksi pasar karena kenaikan CHT dan HJE sebesar 1,56 kali lipat, membuat hilangnya satu brand pada golongan 2 dan 3.

3.     Adanya penyamaan tariff cukai SKM ke golongan SPM menyebabkan tekanan terutama setelah penyetaraan cukai pada masing-masing golongan. Cukai pada SKM golongan 1 menekan volume rokok sebesar 1,29 persen, setelah penyetaraan berubah menjadi 5,44 persen, sedangkan pada SKM golongan 2 cukai menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 3,27 persen setelah sebelumnya hanya menekan volume sebesar 2,75 persen.

4.     Penggabungan SPM dan SKM menyebabkan tekanan terhadap volume rokok. Penggabungan SKM dan SPM ke SM pada golongan 1 dengan batas produksi 3 miliar menyebabkan perusahaan langsung berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan pada golongan tersebut. Simulasi pada satu perusahaan yang beraktivitas pada golongan 2 SKM dan SPM menunjukkan adanya potensi penurunan volume hingga 45,66 persen dari volume rokoknya.

Putra menilai, apabila aturan penyederhanaan tarif cukai ini diterapkan dapat menghasilkan dampak kontra produktif bagi industri seperti simulasi di atas. Ketidakmampuan para pelaku industri untuk bersaing dapat mengarahkan industri hasil tembakau ke struktur pasar oligopolistik, bahkan dalam level yang lebih ekstrem bergeser ke monopoli, di mana hanya ada segelintir pelaku industri yang mendominasi pasar, yaitu pelaku industri yang berasal dari golongan atas, yang telah memiliki pangsa pasar yang besar pula.

“Jika kondisi tersebut terjadi, tentu hal ini berlawanan dengan visi demokrasi ekonomi dari Nawa Cita butir 6 dan butir 7, terkait peningkatan kualitas hidup, serta kemandirian ekonomi melalui sektor strategis domestik. Jika pemerintah ingin menyelaraskan visi pembangunan nasional dengan aspek keadilan bagi pelaku usaha, pengetatan regulasi cukai dan penerapan penyederhanaan struktur tarif cukai sungguhtidak tepat, karena hal ini malah akan meruntuhkan struktur IHT yang merupakan sektor domestic strategis, yang juga adalah kontributor tertinggi dalam penerimaan cukai negara. Kami berharap pemerintah meninjau lagi upaya pembangunan nasional tanpa membuka celah menyuburkan praktik oligopolistik dan monopolistik bagi IHT.” tegasnya.

Lebih lanjut, Putra turut menyampaikan, “untuk mencipatakan suatu iklim usaha yang sehat dan berkelanjutan, sebaiknya Pemerintah mulai menetapkan sebuah peta jalan yang mampu mengakomodir seluruh rantai IHT dengan adil,” tutupnya.  

Perwakilan konsumen dari Komunitas Kretek Aditia Purnomo turut menyampaikan pandangannya akan kebijakan-kebijakan yang kian menekan IHT. Menurutnya, dengan menjadikan cukai sebagai instrumen dalam menekan angka konsumsi rokok, tidaklah tepat. Kekhawatiran akan meningkatnya jumlah perokok muda di bawah umur, semestinya dibarengi dengan adanya fungsi pengendalian yang dijalankan secara aktif oleh pemerintah, dan bukan melalui cukai.

upaya peningkatan pendapatan negara dan menekan angka konsumsi rokok dicanangkan melalui reformasi fiskal yang arahnya kian meningkatkan tarif cukai rokok

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News