Sandiman Harus Rela Jadi Pekerja yang tak Populer

Sandiman Harus Rela Jadi Pekerja yang tak Populer
Terbuka : Kepala Lembaga Sandi Negara Mayjen Dr Djoko Setiadi di gedung utama LSN, jalan RM Harsono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto : Ridlwan/Jawa Pos/JPNN

jpnn.com - Pengarang Amerika Dan Brown pernah menulis novel Digital Fortress yang secara apik menggambarkan suasana kerja National Security Agency, lembaga sandi Amerika Serikat. Bagaimana Lembaga Sandi Negara Indonesia yang para stafnya bekerja siluman.

 

RIDLWAN HABIB, Jakarta
 

Kantor Lembaga Sandi Negara (LSN) berjarak hanya 10 menit jalan kaki dari Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Namun, wisatawan yang hendak piknik ke Ragunan pasti tidak menyadari bahwa dia telah melintasi gedung yang menyimpan semua rahasia negara itu.
    
Dari luar, kompleks gedung LSN lebih mirip sebuah pabrik. Pagar temboknya setinggi kira-kira delapan meter, tertutup rimbun pohon bambu kuning. Tidak ada plang nama kantor atau sejenisnya. Yang ada hanya lambang bola dunia warna biru, bulu angsa, dan cabe rawit merah yang bertuliskan Sthana Paroksharta Bhakti. Dalam bahasa sansekerta, kalimat itu berarti "tempat pengabdian hal-hal yang tidak tampak".
    
Setiap tamu, tanpa kecuali, harus melalui proses skrining yang ketat di pos penjagaan. Tamu yang tidak punya janji dengan pimpinan atau staf LSN dijamin tak bisa masuk ke gedung itu. Jawa Pos bisa masuk kompleks rahasia tersebut karena sudah mengajukan permohonan untuk menemui pimpinan LSN.
    
"Mari Mas, saya antar ke ruang kepala," ujar seorang sandiman yang menjemput Jawa Pos di pos jaga Senin lalu (30/9).
    
Sandiman adalah sebutan staf di LSN yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh untuk melakukan kegiatan persandian. Karena tugasnya yang rahasia, mereka tidak diperkenankan secara terbuka menjelaskan identitasnya kepada publik.
    
Agak berbeda dengan pemandangan di luar, ruang dalam gedung terlihat bersih dan rapi. Tapi, suasananya sangat sepi. Nyaris tidak ada orang yang lalu lalang di kompleks itu. Setiap pintu ruangan bernomor dan tertutup rapat. Beberapa pintu bertuliskan security door. Semua dilengkapi alat pengaman elektronik dengan kode sidik jari. Di beberapa pintu, bahkan dengan identifikasi suara dan sebagainya.
    
"Maaf, tidak boleh memotret di sini," ujarnya melarang koran ini mendokumentasikan suasana dalam gedung.
    
Setiap pegawai LSN mengenakan ID card dengan warna dasar kuning. Tamu dari luar wajib memasang ID card pengunjung yang didapat setelah menukarkan KTP di pos jaga.
    
"Ayo, monggo duduk," ujar Kepala LSN Mayjen TNI Dr Djoko Setiadi menyambut Jawa Pos dengan ramah. Doktor lulusan UGM yang lahir di Solo itu mengenakan baju kasual saat menemui Jawa Pos. Siang itu dia memakai celana jins hitam dan baju lengan pendek motif kotak-kotak.
    
Djoko adalah alumnus Akademi Sandi Negara (cikal bakal Sekolah Tinggi Sandi Negara). Dia mengikuti sekolah perwira militer TNI dan lulus pada 1981.
    
"Prinsip dasarnya, LSN itu menjalankan fungsi signal intelligence atau intelijen sinyal untuk kepentingan keamanan nasional," katanya.
    
Sayang, Djoko tidak bersedia menjelaskan secara detail soal intelijen sinyal. Namun, sumber yang bisa dipercaya menyebutkan bahwa signal intelligence adalah sebuah kegiatan pengumpulan data intelijen berdasar alur komunikasi dan transmisi elektronik. Caranya bisa bermacam-macam, termasuk monitoring sinyal transmis, meretas (hacking), menyadap, dan sebagainya.
    
Pelaku persandian disebut sandiman. Mereka merupakan pegawai negeri sipil di lingkungan LSN. Gelar sandiman bisa didapatkan melalui dua jalur pendidikan. Yakni, pendidikan sandi di Pusdiklat Sandi Negara Ciseeng, Bogor atau lewat Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN).
    
Bila peserta pusdiklat adalah staf di kementerian atau anggota TNI yang lolos seleksi, mahasiswa STSN merupakan lulusan SMA jurusan IPA dengan nilai matematika minimal 7. STSN adalah satu-satunya sekolah kedinasan yang mengajarkan kriptografi (ilmu sandi) di Indonesia. Sejak masuk, mahasiswa sudah menjalani program ikatan dinas. "Sistem kami sangat ketat dan menganut sistem gugur per semester," katanya.
    
Bapak tiga putri itu menjelaskan, calon sandiman harus pintar karena berkutat dengan rumus-rumus algoritma yang rumit. "Tapi, pintar saja tidak cukup. Dia harus loyal, berdedikasi tinggi, tidak gampang bosan, dan tidak boleh gampang menyerah," lanjutnya.
    
Karena itu, sebelum masuk STSN, calon mahasiswa akan mengucapkan janji dan sumpah insan sandi. "Sejak awal kami tegaskan, kalau ragu-ragu, si mahasiswa lebih baik pulang secepatnya. Sebab, mereka nanti yang ditugasi memegang rahasia negara, bagaimana mereka bisa tidak loyal dan jujur?" kata penerima penghargaan Bintang Kartika Eka Paksi Nararya dari presiden itu.
    
Seorang sandiman yang minta namanya dirahasiakan menuturkan, tes psikologi calon sandiman dilakukan berkali-kali untuk menjamin kepribadiannya jujur dan tegus. Materi tesnya bermacam-macam. Misalnya, saat yang bersangkutan mengerjakan soal psikotes, panitia atau sandiman lain mengganggu konsentrasinya dengan bunyi-bunyian, drumband, dan semacamnya.
    
Tujuannya untuk menilai karakter calon mahasiswa STSN ketika menghadapi tekanan. "Kita ukur mentalnya ketika menghadapi tekanan tugas dan stres yang sangat ekstrem," kata sandiman itu.
    
Djoko menjelaskan, sandiman dan sandiwati juga banyak ditugaskan di kedutaan besar RI (KBRI) dan kantor konsulat jenderal (konjen) di luar negeri. Tugasnya menyampaikan informasi rahasia negara secara classified dan secure kepada pejabat KBRI atau konjen. Komunikasi rahasia dari KBRI ke Jakarta atau sebaliknya harus melalui sandiman yang bertugas di KBRI.
    
Bahaya penyadapan informasi dari pihak lawan di KBRI, kata Djoko, selalu ada dan datangnya sewaktu-waktu tanpa bisa diprediksi. "Itu artinya sandiman harus siaga setiap saat," katanya.
    
Bahkan, dalam kondisi darurat, sandiman adalah orang terakhir yang boleh meninggalkan KBRI. Ada teori khusus evakuasi ketika kondisi darurat. Termasuk penghancuran semua data dan mesin-mesin sandi, bila diperlukan.
    
Djoko menceritakan, saat dia menjabat kepala unit komunikasi KBRI Ankara, Turki, koleganya yang di Kabul, Afghanistan, mengalami kondisi darurat. Saat itu (1994-1995) perang Afghanistan melawan Rusia sedang mencapai puncaknya. Nah, ketika kondisi mengancam KBRI, sandiman yang bertahan terakhir, diminta segera meninggalkan KBRI setelah menghancurkan data informasi yang ada. "Saat mengevakuasi WNI, sandiman harus membantu secara aktif," katanya.
    
Meskipun perannya sangat vital, sandiman terikat pada kode etik yang dicetuskan oleh Bapak Persandian Indonesia Dr Roebiono Kertopati yang juga dokter pribadi Bung Karno. Motonya adalah berani tidak dikenal.
    
"Karena itu, ketika ada kritik LSN kok ikut membantu KPU mengamankan data pemilu, kami anggap wajar. Silakan saja kami diawasi," katanya.
    
Suami Kyatti Imani itu meyakini pihak-pihak yang kritis tersebut belum paham tentang fungsi dan peran LSN.
    
"Silakan, boleh dicek track record kami sejak 1946 sampai sekarang. Sandiman itu netral," katanya.
        
LSN membantu KPU agar data pemilu di TPS sama dengan rekapitulasi di tingkat nasional. Dengan begitu, tidak ada pihak-pihak yang bisa mencurangi angka.
    
Menurut Djoko, jika ada pihak yang menyerang sistem IT KPU lalu mengubah perolehan suara, sungguh itu akan sangat merugikan. "Bahaya sekali ketika suara 100 di-mark up 100 ribu, atau sebaliknya 100 ribu tinggal 100. Memang ada orang jahat yang berkemampuan cyber seperti itu," katanya.
    
Sebelum dengan KPU, LSN juga bekerja sama dengan berbagai pihak. Misalnya mengamankan soal CPNS. "Materi soal kami lindungi dengan enkripsi hingga jam sebelum tes, baru kita buka," katanya.
    
Mantan deputi pengamanan persandian itu menjelaskan, LSN selalu mengembangkan teknologi sandi yang diampu oleh tim di pengkajian persandian. Alat-alat dan kode-kode baru selalu diciptakan secara dinamis sehingga tidak bisa dibuka oleh pihak lawan.
    
"Kawan-kawan di parpol mungkin belum paham saja. Kalau sudah paham, mereka pasti berterima kasih kepada kami. Kenapa" Kerja keras parpol meraih simpati rakyat menjadi aman. Jumlah perolehan sejak di TPS sampai rekapitulasi pusat sama dan match 100 persen," katanya. (*/c2/ari)


Pengarang Amerika Dan Brown pernah menulis novel Digital Fortress yang secara apik menggambarkan suasana kerja National Security Agency, lembaga


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News