Saran Guru Besar IPB Agar Tata Kelola Budi Daya Benur Tidak Ngawur

Saran Guru Besar IPB Agar Tata Kelola Budi Daya Benur Tidak Ngawur
Penyeludupan benih lobster diamankan di Kota Jambi. Foto: jambiekspres/jpg

"Mekanisme ini sebenarnya sudah diarahkan dalam kebijakan KKP. Di mana pengekspor tidak hanya membeli BBL dari nelayan melalui KUB untuk diekspor atau dibudidayakan, tetapi juga melakukan pembinaan termasuk perikatan kerja sama dengan nelayan melalui KUB. Ini yang belum terjadi," ungkap Ari.

Menurutnya, di lapangan pengekspor melalui agennya membeli putus BBL dari nelayan melalui KUB dengan harga yang ditetapkan pengekspor. Tidak ada perjanjian kerja sama dengan KUB. Ini yang harus segera dibenahi.

"Ini yang dikeluhkan nelayan yang kami survei di Lebak Banten pada November-Desember 2020," jelas Ari.

Sejatinya, pengekspor melakukan pembinaan dan kerja sama dengan KUB atau koperasi nelayan dan koperasi atau KUB, memberikan pasokan BBL ke pengekspor.

"Selain koperasi atau KUB sebagai perwakilan nelayan yang bernegosiasi dengan mitra pengekspor, juga memberikan perlindungan dan jaminan sosial kepada nelayan yang menjadi anggota KUB atau koperasi," kata Ari.

Sebelumnya, banyak kalangan menyarankan model pengelolaan benih lobster haruslah terintegrasi dari hulu ke hilir.

Pemanfaatan lobster selain memperhatikan aspek kelestariannya, juga harus dilihat manfaatnya dari sisi ekonomi demi menunjang kesejahteraan nelayan dan Budi daya.

Saat ini potensi BBL sebanyak 25,1 miliar ekor, dengan survival rate sebesar 30 persen. Dari potensi tersebut, kebutuhan pasar ekspor, tterutama ke Vietnam sebanyak 50 juta ekor. 

Menurut Ari, sudah saatnya Indonesia membuat tata kelola soal BBL yang baik. Salah satunya dibangun kemitraan yang saling menguntungkan antara pengekspor atau industri budi daya dengan nelayan. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News