Sebuah Perkampungan di Bali, Banyak Warganya Bisu-Tuli

Sebuah Perkampungan di Bali, Banyak Warganya Bisu-Tuli
Beberapa warga kolok Desa Bengkala sedang ”berbicara” dengan aparat desa setempat. Warga sudah terbiasa menggunakan bahasa isyarat dalam pergaulan sehari-hari. (Eka Prasetya/Jawa Pos Radar Bali)

”Tapi anehnya, dua anak Wayan Ngarda normal semua,” imbuh Arpana. Wayan Ngarda yang mempersunting Kadek Sami memang memiliki dua anak yang nurun ibunya, normal. Mereka adalah Made Ratih, 24, dan Made Redana, 22.

Arpana menjelaskan, sampai kini warga di Bengkala tak pernah mempermasalahkan hasil penelitian ilmiah maupun cerita turun-temurun warga. Toh, masyarakat Bengkala, baik yang normal maupun yang cacat, bisa hidup berdampingan secara damai.

Itu sebabnya, Arpana berani mengklaim, 99 persen warga di desanya menguasai bahasa isyarat. Tak terkecuali warga yang normal. Bahasa isyarat bahkan dikuasai warga kolok sejak masih kecil. ”Warga yang normal umumnya memilih menyesuaikan diri dengan warga kolok,” ujarnya.

Tak jarang warga kolok ikut nimbrung dalam obrolan-obrolan di bale bengong (balai santai) di desa itu. Jika ada warga kolok yang ikut nimbrung, secara otomatis obrolan berubah menggunakan bahasa isyarat. Tujuannya, warga kolok tak merasa tersinggung karena tidak dilibatkan dalam pembicaraan.

Bahasa isyarat yang digunakan sedikit berbeda dengan bahasa isyarat pada umumnya. Bahasa isyarat di Bengkala diakui mirip bahasa Inggris dan cenderung lebih dipahami masyarakat bisu-tuli dari Eropa serta Amerika Serikat.

Struktur bahasa isyarat di Desa Bengkala disebut serba terbalik. Seperti grammar dalam bahasa Inggris. ”Kami tidak tahu asal muasalnya kok bisa begitu. Yang jelas, itu turun-temurun,” tambah Arpana.

Hidup berdampingan dengan warga kolok sejak ratusan tahun silam juga membuat masyarakat menempatkan warga kolok dalam struktur yang khusus. Kehidupan menyama braya (sosial masyarakat) di Desa Bengkala mengizinkan warga kolok absen dalam kegiatan gotong royong di desa adat. Baik itu gotong royong di pura maupun di rumah warga.

Namun, warga kolok tidak mau diperlakukan khusus. Mereka tetap mengikuti kehidupan sosial bermasyarakat sebagaimana warga lainnya. Bahkan, mereka cukup aktif dan hampir tak pernah absen dalam kegiatan-kegiatan adat.

DI sebuah desa di Bali, banyak warganya cacat bisu dan tuli, yang berlangsung ratusan tahun secara turun-temurun. Ada yang menyebutkan bahwa penyebabnya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News