Sektor Garmen dan Konveksi Menjerit, APIKMI Soroti Kebijakan Safeguard

Sektor Garmen dan Konveksi Menjerit, APIKMI Soroti Kebijakan Safeguard
Ilustrasi buruh memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik garmen di Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra

jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tentang safeguard bagi bahan baku tekstil impor.

Sebab, kebijakan itu banyak dimanfaatkan oleh kartel sekaligus merugikan banyak pengusaha di sektor garmen dan konveksi.

Sekretaris Jenderal APIKMI Widia Elangga mengatakan salah satu sektor yang sangat merugi di tengah pandemi Covid-19 ini ialah para pelaku industri kecil menengah (IKM) di sektor tekstil, khususnya konveksi atau garmen.

APIKMI, kata dia, banyak menampung aspirasi dari para anggota di sektor garmen di Jawa Barat dan Kota Solo.

"Dengan adanya pandemi Covid-19 satu tahun belakang ini, secara langsung berimbas kepada kemampuan produksi dari pabrikan lokal yang makin menurun," kata dia dalam keterangan yang diterima, Jumat (19/3).

Widia menjelaskan, sebelum pandemi, para pabrikan lokal mengalokasikan 70 persen total produksinya untuk pasar ekspor.

Namun, saat ini terkendala dalam proses ekspor pada masa pandemi Covid-19 ini, sehingga hasil produksinya harus dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.

Hal tersebut dirasa masih tidak mampu untuk membendung kenaikan harga bahan baku.

"Fakta di lapangan mengungkapkan sebenarnya permintaan di pasar domestik pun pada kenyataannya mengalami penurunan cukup signifikan, tetapi penurunan kebutuhan tersebut masih tidak dapat diakomodasi dengan stok barang produksi dari pabrikan di pasar domestik," kata dia.

Widia menerangkan kondisi pengusaha garmen dan konveksi nasional makin diperburuk dengan kemudahan masuknya barang-barang jadi garmen impor China dan Thailand.

Yang mana harga jual dari barang jadi impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan hasil produksi para pelaku IKM yang terbentur tingginya harga bahan baku.

Widia juga menambahkan pengusaha garmen dan konveksi nasional juga makin terpukul dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.161/PMK 010/2019, PMK No.162/PMK. 010/2019 dan PMK No.163/ PMK.010/2019 terkait Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) atau Safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada November 2019 yang lalu.

Menurut Widia, pengusaha makin dipersulit mendapatkan bahan baku bagi keberlangsungan usahanya saat ini.

Beberapa jenis kain produksi lokal seperti rayon dan katun yang digunakan IKM konveksi  di Solo dan Bandung mengalami kenaikan signifikan, dengan rentang 20-30 persen per yard-nya.

"Hal itu lantaran diberlakukannya kebijakan safeguard bagi bahan baku tekstil impor, sehingga terjadi ketimpangan jumlah supply dan demand untuk jenis bahan baku kain," kata dia.

Widia menyadari kebijakan safeguard untuk bahan baku tekstil sebenarnya salah satu cara pemerintah mendongkrak produksi pabrikan tekstil lokal yang sebelumnya dikeluhkan.

Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tentang safeguard bagi bahan baku tekstil impor.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News