Sesajen

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sesajen
Ilustrasi sesajen. Ilustrator: Sultan Amanda/JPNN.com

Kasus itu memicu perdebatan lama mengenai syariat Islam dan tradisi Jawa. Tradisi sesaji sudah menjadi bagian dari budaya Jawa yang mengurat dan mengakar di daerah pedesaan.

Bentuk sesaji bermacam-macam, mulai sekadar telur dan bunga-bunga, sampai yang paling mewah, seperti kepala kerbau. Semua diyakini punya simbol dan makna tersendiri dengan tujuan masing-masing.

Sesajen yang terlihat di Gunung Semeru terlihat terdiri dari nasi putih lengkap dengan lauk. Nasi itu dibentuk sebagai tumpeng dengan bentuk mengerucut yang dilambangkan sebagai simbol menuju kekuatan supranatural tertinggi.

Ada juga lauk-pauk seperti ayam dan buah-buahan sesisir pisang. Ada beberapa jenis kembang, disebut sebagai kembang telon karena terdiri dari tiga jenis dan warna, biasanya mawar, melati, dan kembang boreh.

Tentu saja yang tidak pernah ketinggalan adalah dupa atau kemenyan, yang oleh beberapa kalangan dipercaya sebagai makanan kesukaan makhluk halus.

Sesajen disajikan di atas tampah besar untuk jenis sesaji dengan uba rampe yang komplet. Kadang juga disajikan dalam bentuk anyaman bambu kecil untuk sesajen yang lebih sederhana.

Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu seperti pohon keramat, di perempatan jalan, di pinggir hutan, atau di puncak gunung.

Kepercayaan Jawa kuno sebelum kedatangan Islam didominasi oleh animisme dan dinamisme yang meyakini benda-benda seperti pohon, batu, gunung, laut, dan hutan mempunya roh yang menjadi penunggu. Roh-roh itu mempunyai kekuatan untuk memberi keberuntungan dan sebaliknya juga bisa mencelakakan.

Kasus lelaki menendang sesajen di Gunung Semeru memicu perdebatan lama mengenai syariat Islam dan tradisi Jawa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News