Soal Batasan Produksi Rokok, Najib: Jangan Sampai Ada Celah untuk Diakali

Soal Batasan Produksi Rokok, Najib: Jangan Sampai Ada Celah untuk Diakali
Rokok ilegal yang diamankan Bea Cukai Kudus. Foto: Bea Cukai

Dengan begitu, perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, dan demikian sebaliknya. “Betapa penting mengatur level playing field (tingkat persaingan berkeadilan) yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara,” tegas Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad.

Data INDEF bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.

"Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal, kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang," terang Tauhid.

Hal serupa juga terjadi pada SKM. "Jika perusahaan rokok SKM golongan 2B (tarif cukai rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual minimum Rp 715 per batang, maka pendapatan kotornya Rp 715 miliar per tahun. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” tegas Tauhid.

Padahal, sesuai Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sebuah perusahaan masuk kategori besar jika penjualan mereka melampaui Rp 50 miliar per tahun. (esy/jpnn)

 

Penggabungan SKM dan SPM perlu dilakukan agar tidak ada lagi pabrik rokok besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah.


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News