Stereo Adharta

Oleh: Dahlan Iskan

Stereo Adharta
Adharta mengenang kerusuhan Mei 1998. Foto: Disway

Kepanikan dan ketakutan bercampur jadi satu. Banyak yang membawa mobil ke bandara tanpa tahu akan ditinggal di mana mobilnya nanti.

Banyak juga yang sampai di bandara ingin menjual mobil itu. Dengan harga berapa pun. Lalu terbang ke luar negeri.

Saya jadi ingin tahu: benarkah semua itu. Maka, kalau ada pembaca yang mengalami semua itu, saya ingin sekali mendapat ceritanya secara langsung.

Saya bisa dihubungi di email redaksi@disway.id

Malam itu, Adharta pilih tinggal di hotel yang ada di dalam Bandara Cengkareng. Ia mendapat kamar VVIP. Dari Singapura ia membawa pizza dua karton.

Masing-masing berisi pizza lapis dua. Ia jaga-jaga: siapa tahu sulit mendapat makanan.

Begitu mau masuk hotel ia lihat begitu banyak anak di bandara itu. Seperti kelaparan semua. Ia ajak anak-anak itu ke lobi hotel. Sekitar 20 anak. Di lobi itu, pizza dibagi. Orang tua mereka melihat dari kaca di luar lobi.

Adharta sengaja membawa anak-anak itu ke lobi. Agar jangan sampai ada orang dewasa yang ikut makan. Ia telah minta izin petugas hotel untuk memasukkan anak-anak lapar itu.

Hari itu Jakarta membara. Kerusuhan Mei 1998, pembakaran terjadi di mana-mana. Anda sudah tahu: korbannya warga keturunan Tionghoa. Juga aset mereka.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News