Strategi Perang dari Lantai 10

Strategi Perang dari Lantai 10
Dahlan Iskan. Foto: Budi Yanto/JPNN

Permintaan cerita sampingan itu bukan tanpa alasan. Karena sepengetahuan saya, drama dan tragedi  Tampo Mas II itu membuat nama Dahlan menjadi lagenda di barisan jurnalis Indonesia.

Pemilihan cerita tambahan itu sebelumnya dilatarbelakangi oleh pujian jurnalis senior, Atmakusumah Astraatmadja—bekas redaktur pelaksana Harian Indonesia Raya—saat saya mengikuti pelatihan jurnalistik di Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) beberapa tahun lalu.

Atmakusumah mensejajarkan liputan Tampomas II Dahlan Iskan dengan liputan fenomenal milik Maskun Iskandar—bekas wartawan Indonesia Raya, kini dosen bahasa di Universitas Ahmad Dahlan—tentang pembantaian eks PKI 1969. Bahkan Atmakusumah mensejajarkan liputan Dahlan dengan karya investigatif milik Bondan “Maknyus” Winarno soal Skandal Emas Busang Kaltim di era 90an.

Hal berikut yang melatarbelakangi saya mendesak Dahlan bercerita soal pengalamannya meliput neraka 40 jam itu, karena tulisannya yang kaya deskripsi, dan dramatis tersebut, telah berpengaruh pada budaya pop Indonesia.

Liputan neraka di Tampomas saat itu malah menginspirasi Iwan Fals membuat lagu dengan judul “Celoteh Camar Tolol dan Cemar” yang jadi hits di medio awal 80an. Tak ketinggalan penyanyi balada Ebiet G Ade juga menciptakan lagu khusus berjudul “Sebuah Tragedi 1981”.

Dahlan tak menolak berbagi. Ia mengisahkan betapa “eksklusif” adalah hal yang sudah sejak lama mempengaruhi dan memotivasi lahirnya karya-karya jurnalistik fenomenal di dunia. Bahkan di-era dirinya masih jurnalis TEMPO dan ditugasi meliput musibah pemicu terkuaknya skandal pembelian kapal bekas itu.

Dahlan adalah peminjam yang baik bagi mata, telinga dan indera perasa para saksi kunci dan orang yang belakangan selamat dari musibah. Ia bahkan dengan mengejutkan bisa mendapatkan foto-foto istimewa nan fenomenal saat kejadian, dengan bermodalkan pendekatan dan menyelami perasaan orang-orang yang sempat terjebak bencana itu.

Ia berbagi trik sederhana mengakali keterbatasan sarana di era itu dengan mengandalkan insting berbeda angle dari para wartawan lain yang fokus meliput di Jakarta, sementara ia memilih menyusuri jalur keberangkatan kapal hingga ke Makassar.

DAHLAN Iskan membawa jurnalistik ke tingkat berbeda. Tak hanya melulu soal haru biru idealisme, namun juga menghadapkan pada fakta—bahwa jurnalisme

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News