Street Photography, Belajar Cari Objek

Street Photography, Belajar Cari Objek
Agus Leonardus memamerkan beberapa karya street photography miliknya kepada peserta seminar di Spazio tadi malam (7/10). Dimas Alif/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - SURABAYA – Rasanya, fotografi kian mudah dipelajari. Kamera kian canggih dan terjangkau saku. Membidik objek, ambil gambar, krik! Rampung. Tetapi, kamera tetaplah alat. Yang menentukan hasil akhirnya adalah kemampuan dan kepekaan fotografer dalam menangkap dan menciptakan foto.

Itu diungkapkan Agus Leonardus, fotografer kawakan Kota Gudeg. Lelaki 59 tahun tersebut menjadi pembicara seminar Street Photography di Spazio Hall tadi malam (7/10). Seminar itu adalah rangkaian acara pameran foto Mooi Indie: Portrait of Life yang diadakan PT Intiland Development Tbk dan Komunitas Matanesia.

Agus mengungkapkan, secara teknis, kamera terus berkembang dan menciptakan terobosan anyar. ’’Yang berkembang adalah teknis. Tetapi, secanggih apa pun, kameranya tidak akan bisa mencari objek sendiri,’’ katanya.

Kepekaan mencari objek tersebut sangat diperlukan seorang fotografer yang menekuni aliran fotografi jalanan alias street photography. Sebab, objek dalam aliran itu identik dengan sesuatu yang spontan atau momentum tertentu. Kemampuan seseorang dalam mencari objek sangat bergantung dengan intelektualitas, wawasan, dan latar belakangnya. Sebab, dalam street photography, seseorang bebas mengambil gambar apa pun. ’’Street photography tersebut tidak identik dengan manusia,’’ ucap alumnus Jurusan Akuntasi Universitas Gajah Mada itu.

Jadi, seseorang bebas menentukan objek yang difoto dengan tema kehidupan. Syaratnya, fotografer tidak boleh asal ambil. Mereka sebaiknya mengetahui objek yang sedang mereka potret. Misalnya, saat mengambil foto wayang atau tarian. Fotografer sebaiknya melakukan wawancara singkat sebelum mengambil foto. Dengan begitu, mereka tahu bagian mana yang bercerita atau gerakan mana yang bagus untuk dijepret. ’’Tidak asal cekrak-cekrik, fotografer dituntut mempelajari objek,’’ tutur laki-laki yang mempelajari fotografi sejak 1977 tersebut.

Selain itu, etika fotografi tidak boleh dilupakan. Saat membidik manusia yang sadar akan difoto, fotografer sebaiknya tersenyum sebagai tanda permisi untuk mengambil gambar. Jika objek membalas dengan senyuman, fotografer baru bebas mengambil foto. Setelah itu, fotografer sebaiknya menemui objek dan meminta izin lagi secara langsung. ’’Jangan lupa sekalian melengkapi data. Tanya nama dan usianya untuk keterangan foto, agar foto kita lebih hidup,’’ jelasnya.

Agus pun merasa beruntung. Sebab, dia besar di Jogjakarta yang merupakan gudang seniman. Hal tersebut membuatnya bebas mengambil foto para seniman sesuka hati. Tetapi, tidak berarti dia tidak pernah mendapatkan respons jelek dari objek. Fotografer dengan aliran street photography selalu mempunyai tantangan. Sebab, kebanyakan objeknya adalah orang-orang di jalanan dengan aksi spontan.

Dia mencontohkan pengalamannya di Vietnam. Saat bertemu dengan tukang tambal ban perempuan, dia membidiknya. Responsnya pun ramah. Sayangnya, dari belakang, dia malah ditimpuk suami perempuan tersebut. ’’Saya juga pernah berdebat dengan satpam salah satu stasiun di Solo yang tidak memperbolehkan saya mengambil gambar,’’ paparnya.

SURABAYA – Rasanya, fotografi kian mudah dipelajari. Kamera kian canggih dan terjangkau saku. Membidik objek, ambil gambar, krik! Rampung.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News