Sungguh Mencekam, Menghadirkan Suasana Perang

Sungguh Mencekam, Menghadirkan Suasana Perang
Penutup kepala Tari Perang di Orahili Fau. Foto: Dame Ambarita/Sumut Pos/JPG

jpnn.com - SUNGGUH gerakan tari Perang Nias mampu menciptakan rasa mencekam. Ritme teriakannya, hentakan kakinya, hingga ayunan lembingnya benar-benar mampu menghadirkan suasana perang. 

Nah.. bayangkan saja saat tarian ini ditampilkan di tengah kampung adat asli Nias, di dekat Hombo Batu asli, dengan para penari lengkap dengan seragam prajurit zaman itu. Tarian perang di Orahili Fau itu sungguh mencekam. 

Dame Ambarita, Nias

Berbeda dengan atraksi tari Perang Nias yang selama ini dipertontonkan di berbagai kesempatan, para penari Perang di Desa Orahili Fau tidak mengenakan seragam dari bahan kain biasa. Melainkan asli dari kulit kayu berwarna coklat. Bahkan ada yang mengenakan baju asli dari bahan ijuk: hitam, kaku, kasar. Wih... 

Topi perangnya juga asli... dijalin dari sabut kelapa. Alas kaki asli dari sabut kelapa. Perlengkapan perangnya pun parang asli beserta perisai asli. Hanya lembingnya saja yang tidak asli, takut menciderai penonton saat dilempar ke pihak lawan dan ditangkis.

Satu hal yang tidak asli adalah para penari mengenakan celana pendek hitam. Dulunya, celana itu tidak ada. Prajurit kala itu hanya mengenakan cawat yang terbuat dari kulit kayu.

Tari Perang di desa ini disebut Fanufwo, menceritakan kisah perang antardesa, yakni Desa Orahili Fau dan Desa Bawomataluo, yang sebenarnya masih kakak adik.

Awalnya, Desa Orahili Fau adalah desa induk. Karena serangan pasukan Belanda pada tahun 1863 yang membumihanguskan desa itu, nenek moyang mereka menyelamatkan diri ke Desa Majine. Setelah beberapa tahun di tinggal di desa kecil tandus itu, dari empat puak kakak beradik, tiga puak kembali ke desa asli. Satu puak tetap tinggal di Desa Majine.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News