Sungguh Mencekam, Menghadirkan Suasana Perang

Sungguh Mencekam, Menghadirkan Suasana Perang
Penutup kepala Tari Perang di Orahili Fau. Foto: Dame Ambarita/Sumut Pos/JPG

Sekarang standar hanya ½ sampai 1 kg. Besi untuk kalung diperoleh dari Desa Lahusa Fau, yakni desa tertua penghasil tambang besi dan kuningan di Nias. Sampai sekarang kabarnya masih beroperasi.

Perlengkapan berikutnya disebut ereba, mirip rompi. Dulu bahannya bisa dari kaleng, baja, kulit kayu, dan ijuk. ”Masing-masing  prajurit menyediakan perlengkapannya sendiri,” kata Kepala Suku Orahili Fau, Miliar Fau.

Untuk melukai atau membunuh lawan, ada tolege alias parang dan toho alias tombak/lembing. Plus baluse atau perisai untuk melindungi diri.

Dan tidak lupa, Balobalo Gahe alias alas kaki, terbuat dari sabut kelapa atau kulit waru. ”Seluruh perlengkapan itu selalu tersedia di rumah setiap prajurit, sebagai bentuk mawas diri karena desa tetangga bisa saja datang menyerang sewaktu-waktu.

Untuk memilih prajurit, syaratnya hanya satu: bisa lompat batu. Soal batasan umur, ditentukan pimpinan perang,” kata sang kepala suku.

Fanufwo atau tarian perang yang ditampilkan itu, tambah Matius Manau, adalah bagian dari atraksi Famadaya Hashi (upacara pemakaman penghulu adat yang gugur dalam perang), semacam opera ala Desa Orahili Fau.

”Jalan ceritanya bisa berbeda antardesa,” cetusnya. Yang pasti, kata dia, Tari Perang yang dikenal sebagai khas Nias, aslinya berasal dari Desa Orahili Fau.

Famadaya Hashi dilakonkan 50-80 orang pria dan wanita. Peran penari wanita tidak terlalu banyak, hanya sebagai pelengkap jalan cerita. Sementara untuk tarian, para pria sangat dominan. Dalam atraksi ini, peran para wanita baik gadis maupun ibu-ibu, hanya menyambut tamu, menonton prianya perang, dan menangis saat kepala suku tewas dalam perang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News