Tak Pernah Khawatir Urusan Perut Selama Masih Ada Lontar

Tak Pernah Khawatir Urusan Perut Selama Masih Ada Lontar
Seorang warga Pulau Rote memanjat pohon lontar. Foto: TIMOR EKSPRESS

Hanya dihidangkan pada acara-acara adat. Di acara-acara seperti itu, sopi dianggap memberikan kekuatan dalam mengambil keputusan.

Ada satu aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan lontar. Masyarakat Rote hanya boleh mengolah lontar yang tumbuh di halaman rumah sendiri.

Masa produktif lontar bisa mencapai 50 tahun. Tapi, lontar baru bisa menghasilkan nira setelah berusia minimal 15 tahun. Bila dianggap sudah terlalu tua, lontar bakal ditebang untuk dijadikan bahan bangunan.

Belakangan, seiring perkembangan zaman, masyarakat Rote yang benar-benar memanfaatkan lontar secara keseluruhan semakin berkurang.

Rumah daun seperti yang ditempati keluarga Daniel Koen, misalnya, sudah banyak digantikan rumah seng. Itu sebutan untuk rumah berdinding batu atau kapur dan beratap seng.

Di sisi lain, Molle menuturkan, saat ini sudah banyak pengusaha kayu dari luar Rote yang justru memanfaatkan lontar. Pohon-pohonnya ditebangi untuk dijual menjadi bahan bangunan.

Meski demikian, sepengetahuan Molle, Rote tak perlu cemas bakal kehabisan lontar. Ada fenomena yang disebutnya sebagai anugerah Tuhan bagi Rote.

Berapa pun banyaknya lontar yang ditebang, seakan tidak pernah habis. ’’Di sisi lain, ketika Pemerintah Kabupaten Rote Ndao mencoba menumbuhkan lontar dengan cara budi daya, juga selalu gagal,’’ katanya.

Dari tanaman lontar, bisa dibilang kebutuhan pangan, papan, dan sandang warga Rote terpenuhi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News