Tak Punya Bank Data, Hanya Andalkan Ingatan

Tak Punya Bank Data, Hanya Andalkan Ingatan
Rosihan Anwar.
Karir jurnalistik Rosihan sangat panjang. Sebelum mendirikan harian Pedoman, dia tercatat sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang. Saat Indonesia baru berusia sekitar tiga bulan, dia bergabung menjadi redaktur di harian Merdeka yang didirikan tokoh pers B.M. Diah.

Selama 1948–1961, dia memimpin harian Pedoman sebelum koran itu akhirnya ditutup oleh Soekarno. Pada era Soeharto, korannya bangkit lagi. Bahkan, selama enam tahun, sejak 1968, dia menjabat ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sayangnya, koran itu juga diberedel orang kuat pascaperistiwa Malari pada 1974.

Gaya menulis obituari Rosihan Anwar yang sudah menelurkan lebih dari 20 buku itu didapat saat belajar di School of Journalism, Columbia University, New York, Amerika Serikat, pada 1954. Selama dua bulan di sana, Rosihan bersama sejumlah editor dari berbagai negara belajar tentang berbagai aspek kewartawanan.

Dalam salah satu sesi, para editor itu diajak berkunjung ke kantor redaksi The New York Times. Di dalam salah satu ruang redaksi, ternyata, ada desk yang khusus mengumpulkan data-data seorang tokoh. Data-data tersebut lalu diolah dalam bentuk obituari jika sang tokoh itu meninggal. ”Saat mereka meninggal, data-data tersebut tinggal mereka cabut untuk diterbitkan,” kata Rosihan.

Dari kunjungan dan dialog dengan pengasuh koran terkemuka di New York itulah, dia paham bahwa obituari adalah salah satu berita penting. Saat seseorang meninggal dunia, lanjut dia, publik perlu diperkenalkan sejarah orang itu. ”Supaya dia tidak dilupakan. Dari situ, saya mulai berpikir itu adalah ide yang bagus,” kenang Rosihan.

Namun, sekembali ke Indonesia, Rosihan malah tidak sempat mempraktikkan ide tersebut. Di harian Pedoman, porsi obituari tidak begitu mendapatkan perhatian. Jika ada tokoh meninggal, korannya hanya menulis berita peristiwa yang pendek. ”Sampai Pedoman diberedel, saya nggak sempat menulis obituari,” ujar Rosihan yang juga dikenal sebagai tokoh film.

Tulisan obituari pertama yang dibuat Rosihan terbit di harian Pos Kota. Menurut suami Siti Zuraida Sanawi tersebut, saat itu dia menulis obituari Menteri Sosial Sudarsono (ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono). ”Itu pada tahun 60-an. Saat itu saya menulis obituarinya pendek saja,” tuturnya. Setelah itu, masih ada obituari dua tokoh yang dia tulis di Pos Kota.

Baru saat menjadi wartawan freelance, Rosihan lebih rajin menekuni ”spesialisasi” membuat obituari. Pilihan untuk menulis obituari itu juga memiliki alasan. Di era Orde Baru, kata dia, pandangan politiknya sering beroposisi dengan Soeharto. ”Daripada saya bingung cari bahan untuk menulis politik, ketika itu paling aman menulis obituari,” kata Rosihan.

Rosihan Anwar yang bulan lalu merayakan ulang tahun ke-86 merupakan wartawan penulis obituari yang paling produktif. Wawasan dan pergaulannya yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News