Tandu Huang

Oleh: Dahlan Iskan

Tandu Huang
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya sendiri, setiap naik satu tangga ambil napas dulu. Tangganya begitu terjal. Maksud saya: perlu mengangkat kaki tinggi untuk bisa menapak satu tangga. Berarti tidak mungkin bertumpu pada kekuatan kaki. Harus ditarik oleh kekuatan tangan yang berpegang di tali.

Baca Juga:

Dalam posisi seperti itu, yang selalu hidup di pikiran: saya tidak boleh emosi. Tidak boleh gengsi. Tidak boleh sok kuat. Orang ada apesnya.

Saya selalu ingat teman saya di Surabaya. Pengusaha besar. Terbesar di Surabaya. Umurnya hanya 3 bulan lebih muda dari saya. Ia rekreasi bersama anak cucu ke Amerika. Di sana ikut cucu naik roller coaster. Kena stroke. Hanya uangnya yang kelewat banyak yang bisa membuat ia sembuh.

Kini, 10 tahun kemudian, tetap sehat. Olahraga pingpong tiap hari. Genggam salamannya menjadi kuat sekali.

Puncak gunung Huangshan tidak terlalu tinggi, setidaknya bagi pendaki seperti Rocky Gerung. Hanya 1.800 meter. Tetapi Huangshan terjal sejak dari bawah.

Kini memang sudah ada cable car untuk melewati terjal yang terbawah. Itu saja 20 menit sendiri. Mungkin saya tidak mampu sampai puncak kalau tidak dibantu itu.

Deng Xiaoping dulu mendaki sejak bawah. Demikian juga teman-teman seperjalanan saya kali ini: dua perempuan satu laki-laki. Semuanya kuat mendaki. Masih muda.

Akan tetapi cable car itu menipu saya. Saya pikir sebagian besar pekerjaan sudah diselesaikan cable car. Tinggal sisanya. Apalagi sekeluar dari cable car jalan agak mendatar.

TIGA kali saya ditawari untuk ditandu saja. Naik tandu. Dipikul dua orang. Saya mencoba bertahan: Deng Xiaoping mampu naik gunung Huangshan saat usia 71 tahun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News