Tandu Huang

Oleh: Dahlan Iskan

Tandu Huang
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Ternyata mendatarnya hanya sekadar. Setelah itu menanjak. Menurun sedikit menanjak lagi. Memutar sedikit menanjak lagi. Menikung sedikit menanjak banyak. Tidak habis-habisnya.

Beberapa tandu lewat. Tandu itu minta jalan melewati saya. Banyak yang ditandu itu masih terlihat lebih muda. Saya pun heran: justru tidak melihat ada wanita di atas tandu.

Untuk naik tandu itu tidak harus dari terminal cable car menuju puncak. Bisa hanya untuk satu dakian panjang. Bisa juga dua dakian. Tiga dakian. Empat. Lima. Masih banyak lagi.

Yang jelas tidak ada tandu untuk dakian yang paling atas. Yang nyaris tegak lurus tadi. Yang saya sempat ragu-ragu terus mendaki atau tidak. Kalau ada orang memaksa ditandu di situ ia akan tumpah dari tandu.

Pelan tetapi pasti. Saya pun sampai puncak. Setengah jam sendiri dari tangga pertama ke puncak. Betapa lambatnya. Benar-benar harus sabar. Teguh. Jangan mikir waktu. Jangan melihat ke bawah. Melirik pun tidak berani.

Sebenarnya tidak harus semua orang sampai ke puncak itu. Bisa ke puncak yang lain. Tetapi saya ingin ke yang tersulit itu. Disebut puncak Teratai. Lotus Peak.

Sampai di puncak Huangshan itu saya ragu: apakah saya ini sedang di langit atau sedang di laut. Di atas kepala saya serasa langit tinggal satu telunjuk lagi. Sedang di bawah saya seperti hamparan air. Dan memang itu air sungguhan. Dalam wujudnya yang lain: kabut.

Itu akhir minggu kedua April 2023. Banyak hujan dan kabut. Mungkin lebih baik mendaki Huangshan di bulan Oktober.

TIGA kali saya ditawari untuk ditandu saja. Naik tandu. Dipikul dua orang. Saya mencoba bertahan: Deng Xiaoping mampu naik gunung Huangshan saat usia 71 tahun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News