Tandu Huang

Oleh: Dahlan Iskan

Tandu Huang
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Dari puncak itu kami naik turun tangga lagi: ke puncak yang lain. Tidak turun lewat tangga curam tadi. Ada jalan memutar. Puncak kedua ini sedikit lebih rendah. Indahnya sama tapi berbeda. Puncak Guang Ming.

Dari situ kami memutuskan turun. Tidak perlu ke puncak-puncak lainnya. Masih begitu banyak puncak. Semuanya indah. Tak terpermanai.

Saya takut hujan. Saya menghindari kehujanan dan terik matahari. Sejak transplantasi hati 17 tahun lalu. Seharusnya masih begitu banyak puncak pilihan di puncak-puncak Huangshan. Semuanya seperti lukisan Huangshan yang begitu banyak... Ups... Semua lukisan Huangshan tidak ada yang seindah aslinya.

Di Taishan, Shandong, saya lihat hanya ada satu puncak. Demikian juga di Wuyishan, Fujian. Di sini saya mengakui kebenaran pameo itu: dari lima gunung utama di Tiongkok yang paling menakjubkan adalah Huangshan.

Ternyata banyak orang memilih bermalam di bagian bawah Huangshan. Dengan demikian jam 5 pagi sudah bisa mulai mendaki. Untuk melihat matahari terbit dari puncak. Pun cukup waktu untuk ke semua puncak Huangshan.

Malam sebelumnya itu saya memilih bermalam di kota Huangshan. Masih satu jam ke kaki pendakian Huangshan. Tidak mudah mendapat kamar hotel di Huangshan dan sekitarnya. Apalagi model dadakan seperti saya.

Di kota Huangshan sendiri kini ada stasiun kereta cepatnya. Bahwa kami datang dengan mobil, itu agar ada alat transportasi untuk muter-muter di kawasan Huangshan.

Pulangnya dibagi dua: sebagian kembali ke Nanchang bersama mobil. Sebagian lagi naik kereta cepat menuju Shanghai: dua jam perjalanan. Saya ikut yang ke Shanghai.

TIGA kali saya ditawari untuk ditandu saja. Naik tandu. Dipikul dua orang. Saya mencoba bertahan: Deng Xiaoping mampu naik gunung Huangshan saat usia 71 tahun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News