Tas Lebaran
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Suara takbir pagi mulai terdengar. Ufuk timur mulai merona menguning.
Rintik hujan total berhenti. Payung tidak jadi terpakai. Berseragam baru, kami melangkah di tanah basah: ke masjid desa sebelah.
Salat Idulfitri-nya ternyata sama: dua rakaat. Urutannya juga sama: kutbahnya setelah salat.
Yang tidak sama ialah acara sungkeman keluarga. Awalnya kami berencana sungkeman di serambi depan masjid. Ingin mengulangi yang pernah kami lakukan di halaman masjid Syekh Abdul Qadir Jaelani di Baghdad.
Kami, saat itu, jadi tontotan jemaah di Baghdad. Sungkeman cara Jawa. Lalu dihampiri cucu turunan ke-27 Syekh Abdul Qadir Jailani. Diajak makan bersama di rumah beliau di kompleks masjid.
Akan tetapi masjid di kampung ini penuh sesak. Jemaah wanitanya sama banyak dengan yang laki-laki. Halaman pun terpakai.
Tidak mungkin sungkeman di situ. Pindah ke tempat kami menginap. Seadanya. Halaman basah. Tempat parkir basah. Lapangan basketnya juga basah.
Bagi cucu-cucu, yang penting bukan sungkemannya: tetapi nenek mereka. Terutama isi tasnyi. Lebaran bisa di mana saja, tapi tas itu harus ada.(*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Ini Lombok Timur. Hujan menggutus di malam Lebaran. Sudah lama. Sejak lepas tengah hari. Sejak saya merapat di dermaga Kayangan -baru tiba dari Pulau Moyo.
Redaktur : Tim Redaksi
Reporter : Tim Redaksi