Tentang Lothario, Bethsy, dan Budi Gunawan

Hasan Aspahani

Tentang Lothario, Bethsy, dan Budi Gunawan
Tentang Lothario, Bethsy, dan Budi Gunawan

“Hmm! – ya – begitu! – Bagaimana dengan penggaraman?” tanya Hakim.

“Tidak, Tuanku, dia tidak menggarami saya – sebaliknya, dia melakukan banyak hal untuk saya … dia lelaki terhormat!” ujar Bethsy.

“Anda mendengar sendiri, Tuanku, dia mengatakan saya lelaki jujur,” kata Lothario.

Bagaimana nasib Lothario? Terbebaskah dia dari vonis hukuman gantung?

“Huh! – Tuduhan ketika masih berlaku. Bawa pergi tawanan ini! Dia harus digantung; dia bersalah karena kesombongannya.

Demikianlah ceritanya, Pak Hakim Sarpin Rizaldi. Saya berharap Anda sudah pernah membaca buku Multatuli itu. Buku yang ujar Pramoedya Ananta Toer “membunuh kolonialisme”.  Saya tidak ingin bicara soal isi buku itu.

Saya hanya ingin berbagi ingatan tentang cerita di atas. Ini memang hanya sebuah petikan drama pendek. Tapi, lihatlah, betapa berkuasanya hakim, sosok yang duduk di meja hijau, bertoga dan punya kuasa mengetukkan palu vonis. Betapa nasib orang yang dibawa ke pengadilan tergantung atas tafsir seorang hakim, ya, ini bukan analogi yang kebetulan karena dalam sidang praperadilan yang Anda pimpin beberapa waktu lalu Anda adalah hakim tunggal.

Saya tidak tahu banyak tahu tentang hukum, tidak pernah belajar secara khusus tentang hukum.  Karena itu saya juga tidak bisa menilai kenapa gugatan penetapan seseorang sebagai tersangka yang tidak masuk dalam materi gugatan praperadilan itu dengan yakin Anda terima, dan Anda bahkan mengabulkan gugatan dari calon Kapolri Budi Gunawan itu.

PAK Hakim Sarpin Rizaldi yang saya hormati. Saya ingin menceritakan ulang satu lakon drama yang naskahnya saya baca di buku Max Havelaar karya Multatuli.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News