Tes Dua Jari bagi Polwan

Oleh; Fransisca Ayu Kumalasari*

Tes Dua Jari bagi Polwan
Tes Dua Jari bagi Polwan

Pertanyaannya, jika itu hanya reaksi individu orang tua yang cemas terhadap anaknya, kenapa reaksi tersebut harus dilembagakan dalam aturan formal yang bisa berimplikasi negatif bagi siswa-siswa lainnya? Untunglah, setelah mendapat serangan dari kaum pemerhati perempuan, praktisi pendidikan, dan masyarakat, wacana ”tes dua jari” di Prabumulih tersebut menguap dengan sendirinya.

Para polwan yang dikenai tes keperawanan menjadi simbol masih kuatnya struktur kekerasan yang dilahirkan oleh negara untuk melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. Virginitas dijadikan semacam area sakral untuk mendemarkasi tubuh perempuan secara sosial-politis melalui perlakuan-perlakuan yang berimpitan dengan masa depannya, khususnya dalam proses pencarian kerja dan aktualisasi dirinya sehari-hari. Itu merupakan upaya pembatasan aksesibilitas ruang publik secara sistematis bagi para perempuan yang dilakukan oleh negara.

Debatable
Padahal, berbicara soal virginitas, ia adalah sesuatu konsep yang masih debatable sampai sekarang, baik di kalangan praktisi kesehatan, ahli kesehatan reproduksi, maupun dalam perspektif psikologis perempuan. Tes keperawanan, bagaimanapun, sangat sulit untuk dilakukan karena terlebih dahulu kita harus menyepakati bersama definisi apa yang dimaksud sebagai virginitas. Apakah perawan diartikan tidak melakukan seks atau tidak robeknya selaput dara.

Lalu, bagaimana dengan perempuan yang tidak pernah sekali pun melakukan hubungan seksual namun selaput daranya robek karena mengalami kecelakaan atau melakukan aktivitas berbahaya tanpa disadari. Bahkan, menurut pakar obstetrik ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), selaput dara perempuan memiliki bentuk dan pori bervariasi.

Ada yang bersepta-septa dan berlubang-lubang. Derajat kelembutan dan fleksibilitasnya pun berbeda-beda. Karena bentuknya selaput, pendarahan pada bagian itu biasanya sedikit. Itulah yang mengakibatkan keluar darah pada saat hubungan seks pertama dilakukan.

Tetapi, fenomena tersebut tak mesti dialami semua perempuan. Jika seorang perempuan memiliki selaput dara yang sangat tipis, mungkin ia tak akan mengalami pendarahan sama sekali saat melakukan hubungan seks kali pertama.

Maka, jika definisi virginitas adalah pernah atau tidak pernah melakukan hubungan seksual, tes keperawanan tersebut sama sekali tak ada hubungannya dengan selaput dara. Inilah logika sempit dan miskin kecerdasan yang coba dibangun untuk sengaja melanggengkan budaya kecurigaan yang masif terhadap eksistensi kaum perempuan.

Bisa dibayangkan bagaimana jika tes keperawanan tersebut terus dilegalkan pada seseorang untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan atau untuk mendapatkan pekerjaan. Betapa ekses yang dirasakan perempuan tersebut akan bertubi-tubi jadinya, mulai kehilangan hak untuk memiliki masa depan (pendidikan dan pekerjaan), hak untuk memperoleh recognizing (pengakuan sosial), hingga hak untuk menjalani interaksi sosial secara egaliter dan nondiskriminatif.  

INSTITUSI kepolisian, khususnya polisi wanita (polwan), hari-hari ini diselimuti isu tak sedap terkait pemberlakuan tes keperawanan bagi calon peserta

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News