Top, Eka Pratiwi Meski Tunanetra Tapi Jadi Sarjana dan Cum Laude Pula

Top, Eka Pratiwi Meski Tunanetra Tapi Jadi Sarjana dan Cum Laude Pula
PANTANG MENYERAH: Eka Pratiwi Taufanti bersama Rektor Udinus Edi Noer Sasongko (paling kiri), dosen, dan Muhammad Taufik Hidayat, ayahnya. Foto: Abdul Mughis/Jawa Pos Radar Semarang

Meski tunanetra, Eka mengikuti proses belajar di kelas normal. Namun demikian, kata dia, Udinus dan para dosen mendukung kebutuhan bagi mahasiswa tunanetra.

”Dosen menyediakan modul materi atau bahan perkuliahan berbentuk soft file, kemudian diproses menggunakan aplikasi di laptop. Materi dari teks ditransfer menjadi suara,” tutur gadis kelahiran Brebes, 16 November 1991 ini.

Tentu saja Eka harus berusaha ekstrakeras demi memahami materi kuliah. Sebab, proses belajarnya berarti dua kali ketimbang mahasiswa biasa. Selain mendengarkan penjelasan dosen, ia harus mentransfer materi dari teks ke bentuk suara.

”Ya, susahnya kadang dibutuhkan scan terlebih dulu. Agar bisa dibuka menggunakan aplikasi Open Book sehingga bisa didengarkan,” katanya.

Kesabarannya menikmati setiap proses kuliah menginspirasi ide untuk menuangkan gagasan tentang konsep belajar efektif bagi penyandang tunanetra. Selama ini, penyandang tunanetra biasanya hanya menggunakan sistem braille. Namun huruf braille cenderung tidak menyediakan banyak buku atau materi yang tersedia.

”Saya akhirnya berusaha menuangkan ide dan gagasan tentang pemanfaatan Podcast layar sentuh di ponsel Android dengan metode listening,” bebernya

Podcast merupakan media digital yang terdiri atas serangkaian episodik audio, video radio, PDF, atau file ePub secara online menggunakan perangkat mobile. ”Sehingga ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris bagi tunanetra dengan memanfaatkan teknologi digital,” katanya.

Tak terduga, gagasan yang dituangkan ke dalam bentuk inovasi karya ilmiah esai itu mengantarkan Eka terbang dalam kompetisi ilmiah World Blind Union Regional Asia Pasific di Hong Kong pada 2014 silam. Eka terpilih sebagai salah satu dari dua orang yang mewakili Indonesia dalam ajang bergengsi tersebut.

Terlahir sebagai penyandang tunanetra tak membuat Eka Pratiwi Taufanti pasrah pada keadaan yang ada. Ia justru memiliki tekad kuat untuk bisa menimba

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News