Wakil Indonesia Kecam UU Antiterorisme Filipina

Wakil Indonesia Kecam UU Antiterorisme Filipina
Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam pertemuan bilateral dan jumpa pers di Istana Merdeka, Jumat (9/9). Foto: Natalia/JPNN.com Ilustrasi by:

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Indonesia untuk Komisi HAM antar Pemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengecam pengesahan Undang-Undang Antiterorisme Filipina (RA 11479) yang ditandatangani oleh Presiden Rodrigo Duterte, Jumat (3/7).

Pasalnya, undang-undang itu dapat menjadi alat penguasa memidanakan kelompok oposisi, aktivis, akademisi, dan warga sipil lainnya, hanya dengan mencurigai mereka sebagai teroris.

Tidak hanya itu, UU itu juga mengancam hak mendasar warga, di antaranya kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat di Filipina.

"Saya sangat khawatir dengan definisi terorisme dan aksi teror yang terlalu luas dalam RA 11479 sehingga memungkinkan aparat melakukan penindakan secara acak, melanggar hak privasi, dan menekan kelompok oposisi sebagaimana telah dialami oleh pegiat HAM, akademisi yang kritis atau para pekerja kemanusiaan," terang Yuyun dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Minggu (5/7).

Wakil AICHR Indonesia menjelaskan ia menerima laporan bahwa pemerintah setempat telah menetapkan beberapa anggota organisasi masyarakat sipil, kelompok gereja, akademisi dan wartawan, termasuk Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Masyarakat Adat, Victoria Tauli-Corpuz, sebagai bagian dari kelompok teroris atau terlibat dengan aksi teror.

"Upaya penanggulangan terorisme memang penting, tetapi langkah itu harus dilakukan dengan tujuan menegakkan hak asasi manusia dan aturan hukum yang ada. Jika tidak, pengesahan UU itu akan menjatuhkan keabsahan kebijakan anti-terorisme itu sendiri," sebut Yuyun.

Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Duterte mengganti Undang-Undang Keamanan Individu 2007 dengan Undang-Undang Anti-Terorisme 2020 yang juga disebut dengan Undang-Undang Republik 11479. UU itu tetap diteken oleh Presiden Duterte, meskipun banyak pihak dari organisasi masyarakat sipil, anggota parlemen, dan komisi HAM di Filipina menentang langkah tersebut.

Alasan penolakan, salah satunya, UU itu dapat memidanakan seseorang yang dicurigai secara tidak langsung terlibat gerakan terorisme. Bagian kesembilan undang-undang itu menyebutkan aparat dapat memidanakan mereka yang dicurigai melakukan penghasutan lewat orasi, pernyataan sikap, tulisan, poster, spanduk, dan alat lainnya tanpa harus terlibat langsung dalam aksi teror.

Wakil Indonesia untuk Komisi HAM antar Pemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengecam pengesahan Undang-Undang Antiterorisme Filipina

Sumber Antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News