Yusril: Putusan MK Nomor 90 Tidak Melanggar Norma Etik Hukum

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tidak melanggar norma etik hukum.
Menurut dia, ada perbedaan mendasar antara pelanggaran norma etik dengan pelanggaran norma tentang perilaku atau code of conduct.
Sebelumnya, Yusril memberikan klarifikasi terkait perdebatan hukum yang beredar di masyarakat, soal norma etik yang lebih tinggi daripada norma hukum.
Narasi seperti itu kini digaungkan sebagai upaya delegitimasi pencalonan Gibran dalam kontestasi pemilu.
Sebab, Wali Kota Solo itulah yang dinilai paling diuntungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Putusan Usia Minimal Capres/Cawapres, yang pada proses penetapannya Ketua MK Anwar Usman dinyatakan melanggar kode etik.
“Keputusan yang diambil Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam kasus Pak Anwar Usman itu berbeda dengan norma etik dalam teori dan filsafat hukum,” ucap Yusril dalam keterangannya, Jumat (29/12).
Yusril menuturkan bahwa MKMK itu dibuat dari derivasi undang-undang, sebagaimana juga peraturan kode etik hakim MK.
“Karena itu derivasi undang-undang, maka kedudukannya di bawah undang-undang kalau dilihat dari hierarki hukum,” kata dia.
Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tidak melanggar norma etik hukum.
- Hasil Survei Rumah Politik Indonesia: Mayoritas Publik Puas dengan Kinerja Wapres Gibran
- Aspirasi Purnawirawan TNI Perlu Disikapi Serius, Kecuali soal Pemakzulan Wapres
- Doli Golkar Nilai Tak Ada Alasan Kuat Buat Copot Gibran bin Jokowi
- Pemakzulan Gibran Pakai Alasan Pilpres, Pengamat: Prabowo Seharusnya Terdampak Juga
- Punawirawan TNI Usul Wapres Gibran Dicopot. Legislator: Mereka Tak Mau Bangsa Ini Rusak
- Arief Poyuono: Harus Ada Alasan Kuat untuk Menggulingkan Gibran