Kiprah Yeni Dewi Mulyaningsih, Pendiri Komunitas Relawan Pasien Kanker

Tak Ingin Nasib Anak-Anak Itu seperti Buah Hatinya

Kiprah Yeni Dewi Mulyaningsih, Pendiri Komunitas Relawan Pasien Kanker
HIBUR PASIEN: Yeni Dewi Mulyaningsih (kanan) bersama para relawan Komunitas Taufan dan anak-anak pasien kanker. Dokumentasi Komunitas Taufan)

jpnn.com - Sore itu (8/10), pukul 16.15 WIB, matahari masih bersinar terang di langit Jakarta. Beberapa larik sinarnya menerobos masuk ke lorong-lorong koridor Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), seolah hendak mencerahkan suasana lorong yang lesu dan menceriakan suasana hati para penghuninya.

Di bagian belakang kompleks RS yang berdiri sejak 19 November 1919 itu, terdapat bangsal anak di gedung A. Ruang tunggunya yang berbentuk bulat berdiameter 5 meter kental dengan nuansa arsitektur bergaya Eropa. Saat itu Yeni Dewi Mulyaningsih, pendiri Komunitas Taufan, sedang berdiskusi dengan tiga temannya yang menjadi relawan di komunitas pendamping anak-anak penderita kanker tersebut. Mereka adalah Andriana, Wibowo, dan Irine.

Sore itu mereka hendak melakukan aktivitas yang mereka namai bangsal visite. Kunjungan ke bangsal yang khusus merawat pasien kanker dan penyakit berisiko tersebut dilakukan rutin dua kali seminggu, setiap Rabu dan Sabtu. ”Dulu saya selalu berurai air mata tiap kali datang ke sini,” kata Yanie, panggilan Yeni Dewi Mulyaningsih, ketika ditemuiJawa Pos di sela-sela visite di RSCM Rabu pekan lalu.

Lorong, dinding, hingga sudut-sudut ruangan bangsal anak itu memang selalu membangkitkan kenangan Yanie atas putranya, Muhammad Taufan. Suara celoteh, rintihan, hingga tangis anak-anak seolah menariknya kembali ke masa lalu, saat dia enam bulan menemani buah hatinya itu menjalani rawat inap. Lalu 1,5 tahun berikutnya bolak-balik dari rumah ke RS setiap pekan sekali untuk menjalani rawat jalan.

Pada 2011 Taufan divonis terkena leukemia atau kanker darah. Alangkah kaget Yanie dan keluarganya. Apalagi, saat itu Yanie tengah mengandung si bungsu. Saat kandungannya makin berat dan beberapa kali mengalami pendarahan, dia tetap setia mendampingi putra keempatnya itu di RS. Yanie tak tega melihat anaknya merasakan penderitaan sendirian. Apalagi ketika putranya menangis kesakitan lantaran bola matanya yang terus membesar.

”Rasanya campur aduk tidak keruan. Itu periode ujian luar biasa dalam hidup saya,” ungkap perempuan kelahiran Bandung, 5 Maret 1977, tersebut.

Dua tahun lebih Taufan berjuang melawan ganasnya kanker darah. Hingga saat ulang tahun yang ketujuh pada akhir April 2013, jagoan kecil yang masih menjalani kemoterapi itu jatuh, tidak sadarkan diri, lalu meninggal sepekan kemudian di RSCM.

Dua bulan berlalu, Yanie masih belum bisa merelakan kepergian Taufan. Hidupnya serasa hampa. Dari rumahnya di Bekasi, dia masih sering bertandang ke RSCM, mengunjungi bangsal anak untuk sekadar mengurai air mata dan menyemai kembali kenangan-kenangan manis bersama putranya. Simpati dari para dokter, perawat, dan para orang tua pasien lain seakan tak mampu mengobati duka laranya.

Sore itu (8/10), pukul 16.15 WIB, matahari masih bersinar terang di langit Jakarta. Beberapa larik sinarnya menerobos masuk ke lorong-lorong

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News