Kiprah Yeni Dewi Mulyaningsih, Pendiri Komunitas Relawan Pasien Kanker

Tak Ingin Nasib Anak-Anak Itu seperti Buah Hatinya

Kiprah Yeni Dewi Mulyaningsih, Pendiri Komunitas Relawan Pasien Kanker
HIBUR PASIEN: Yeni Dewi Mulyaningsih (kanan) bersama para relawan Komunitas Taufan dan anak-anak pasien kanker. Dokumentasi Komunitas Taufan)

Tapi, lama-lama Yanie akhirnya bisa mengikhlaskan kepergian putranya itu. Rasa ikhlas tersebut lalu tumbuh menjadi empati. Di bangsal anak RSCM ada delapan kamar berukuran sekitar 8 x 6 meter, masing-masing memiliki enam tempat tidur dan satu kamar mandi. Kamar-kamar itu hampir selalu penuh dengan 52 anak yang sebagian besar pasien kanker. Di luar itu, masih ada ratusan anak pasien kanker lainnya yang menjalani rawat jalan dan berkunjung ke poli setiap minggu.

Anak-anak tersebut tengah berjuang melawan kanker, persis seperti putranya dahulu. Lalu, ada orang tua, sebagian besar ibu-ibu, yang juga menghabiskan waktunya untuk merawat putra-putri mereka, persis seperti yang dia lakukan dahulu. Rasa bingung, putus asa, marah, dan lelah tak henti mendera para orang tua itu. ”Dari situ saya bertekad untuk membantu pasien dan orang tuanya,” ucap Yanie, ”membantu apa saja yang saya bisa.”

Yanie sudah melalui tahapan itu sehingga dia tahu betul apa yang dibutuhkan pasien dan orang tuanya. Sistem jaminan kesehatan masyarakat diakuinya sangat membantu orang tua pasien karena menanggung hampir semua biaya pengobatan dan perawatan. Namun, di luar itu, masih banyak kebutuhan lain yang luput dari perhatian.

Misalnya kebutuhan seperti susu, diapers atau popok, tisu basah, perlengkapan mandi, boneka atau mainan anak, buku tulis, buku gambar, buku dongeng/cerita, biaya makan orang tua yang menunggui anaknya di RS, hingga biaya transportasi dan kursi roda untuk pasien rawat jalan. Semua itu tidak termasuk dalam biaya-biaya yang ditanggung pemerintah. ”Padahal, itu kebutuhan penting yang harus dipenuhi,” tutur Yanie.

Berbekal dukungan keluarga, teman, dan beberapa lembaga nirlaba seperti Count Me In, Yanie mulai aktif membantu para pasien dan keluarganya. Aksi simpatiknya lantas beredar dari mulut ke mulut hingga banyak orang yang ikut menjadi donatur dan relawan. Saat itulah tercetus nama Komunitas Taufan yang merujuk pada nama almarhum putranya.

Tak hanya membagi-bagikan kebutuhan dasar pasien, Yanie dan relawan Komunitas Taufan juga menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan pasien dan keluarga. Dalam kegiatan bangsal visite itu, ada yang membacakan buku dongeng, bernyanyi bersama, melawak dengan pakaian badut, main sulap, atau sekadar mendengar keluh kesah orang tua pasien. ”Istilahnya, pasien butuh hiburan, orang tua pasien butuh pundak untuk bersandar,” katanya.

Yanie menyebutkan, perjuangan para orang tua pasien juga tak kalah hebatnya. Jika anaknya adalah pasien yang butuh pendampingan 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu, para orang tua juga harus tinggal di RS. Tidur di lantai beralas tikar atau kasur tipis, dia harus selalu fokus agar tidak lupa mencatat berapa kali dan berapa banyak putra/putrinya buang air kecil dan buang air besar. Termasuk mencatat jenis makanan/minuman serta berapa banyak yang dikonsumsi.

Yanie menceritakan, interaksi intens membuat para orang tua pasien sudah seperti keluarga sendiri. Untuk meredakan ketegangan dan tekanan batin, tak jarang mereka saling bercanda. ”Kalau anaknya sudah bertahun-tahun (menjalani pengobatan kanker di RSCM, Red), kami memanggilnya profesor. Kalau baru beberapa bulan, kami memanggilnya pak atau bu lurah. Kami kadang bercanda dan tertawa di siang hari. Tapi, di malam hari, yang terdengar adalah suara isak tangis (para orang tua),” kisahnya lantas menarik napas panjang.

Sore itu (8/10), pukul 16.15 WIB, matahari masih bersinar terang di langit Jakarta. Beberapa larik sinarnya menerobos masuk ke lorong-lorong

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News