Kiprah Yeni Dewi Mulyaningsih, Pendiri Komunitas Relawan Pasien Kanker

Tak Ingin Nasib Anak-Anak Itu seperti Buah Hatinya

Kiprah Yeni Dewi Mulyaningsih, Pendiri Komunitas Relawan Pasien Kanker
HIBUR PASIEN: Yeni Dewi Mulyaningsih (kanan) bersama para relawan Komunitas Taufan dan anak-anak pasien kanker. Dokumentasi Komunitas Taufan)

Aktivitas Yanie di bangsal anak RSCM membuat dokter, perawat, pasien, dan keluarga pasien familier. Mereka pun memanggilnya dengan sebutan Mama Taufan. Saat kegiatan bangsal visite Rabu pekan lalu, Yanie berkeliling dari satu kamar ke kamar lain. ”Halo Bro, gimana kabarnya? Tambah cakep aja nih,” ujarnya renyah menyapa Wardi, pasien asal Bogor.

Yanie lantas melakukan tos dengan bocah kecil itu. ”Iya dong, tambah ganteng,” jawab Wardi lalu tertawa sambil mengelus kepalanya yang plontos. Kemoterapi membuat rambut pasien rontok. Yanie dan Wardi lantas bercengkerama begitu akrab, bagai ibu dan anak sendiri.

Wardi adalah pasien yang baru saja menginjak usia 17 tahun. Dia masih berada di kamar anak karena sejak setahun lalu menjalani program kemoterapi untuk melawan kanker pada jaringan lunak, penyakit langka yang disebut synovial sarcoma. Benjolan sebesar genggaman tangan orang dewasa tampak di paha kirinya.

”Dulu ini bengkaknya sebesar bola voli. Sekarang sudah dioperasi, tapi karena ada sel kanker yang tertinggal, jadi tumbuh lagi benjolannya. Ini sekarang beratnya mungkin sekitar 1 kilogram,” ujarnya sambil mengusap-usap benjolan di pahanya. Kanker ganas yang beberapa kali hampir merenggut nyawanya itu seolah tak mampu merampas senyum yang terus tersungging di wajah Wardi.

Wardi memang tipe remaja yang ceria. Dengan bangga dia lalu menceritakan baru saja lulus SMA dengan nilai memuaskan. Meskipun berbulan-bulan tidak masuk sekolah karena harus menjalani perawatan.

Wardi lantas bercerita tentang bagaimana Yanie dan Komunitas Taufan membantu para pasien, mulai menyediakan perlengkapan hidup sehari-hari, mengajari bagaimana merawat pasien, membantu mengurus surat-surat untuk keperluan jaminan pembayaran di RS, hingga mengajari untuk aktif meminta nomor handphone dokter dan segera berkonsultasi jika terjadi apa-apa di rumah. ”Dia mah pokoknya begini,” kata Wardi menunjuk Yanie yang sedang menyapa pasien lain, lalu tangan kurusnya mengacungkan dua jempol tanda salut.

Di kamar lain, Yanie menghampiri seorang gadis kecil, bola mata kanannya membesar, menatap kosong ke langit-langit. Yanie membetulkan kaki kecilnya yang menjuntai dari tempat tidur, mengusap-usap kepalanya, dan membisikkan beberapa kata di telinganya. Gadis kecil itu meresponsnya dengan senyuman tipis, lalu tatapannya kembali kosong.

Nenek si gadis kecil berdiri mematung di sisi tempat tidur. Melihat cucu kesayangannya tergolek lemah tak berdaya, bibirnya terkatup menahan tangis, matanya tampak sembap dan berkaca-kaca. ”Oma harus kuat, harus tetap semangat ya,” tutur Yanie sambil menepuk-nepuk bahu si nenek yang mengangguk-angguk sambil menyeka air matanya.

Sore itu (8/10), pukul 16.15 WIB, matahari masih bersinar terang di langit Jakarta. Beberapa larik sinarnya menerobos masuk ke lorong-lorong

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News