24 Tahun Reformasi, Hemi: Ada Gelagat Membungkam Kebebasan Berpendapat

24 Tahun Reformasi, Hemi: Ada Gelagat Membungkam Kebebasan Berpendapat
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Dokumentasi pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Hemi Lavour Febrinandez menilai demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran khususnya dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat meskipun reformasi telah berjalan selama 24 tahun.

Menurut Hemi, upaya memberangus hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat tidak hanya terjadi di ruang fisik, tetapi juga merambah hingga ke ruang digital.

“Gelagat melakukan represi kebebasan berpendapat masyarakat sudah terlihat sejak tahun 2019, ketika terjadi beberapa tindakan represif kepada kelompok yang menolak revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Beberapa kelompok masyarakat menjadi korban tindak kekerasan ketika berdemonstrasi,” ungkap Hemi di Jakarta, Selasa (24/5).

Lebih lanjut, Hemi menjelaskan serangan siber seperti spam-call hingga peretasan menjadi salah satu momok yang harus dihadapi oleh kelompok masyarakat sipil yang menyampaikan kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah.

Pada tahun 2020, KontraS menerima 1.500 pengaduan kekerasan yang dilakukan oleh aparat selama aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Selain kekerasan pada saat demonstrasi, serangan siber juga menjadi salah satu ancaman serius bagi kebebasan berekspresi di ruang digital.

Menilik data Komnas HAM, kata Hemi, terdapat sembilan kasus serangan siber yang ditangani pada tahun 2020. Kemudian meningkat menjadi dua belas kasus pada tahun 2021.

Bentuk serangan siber yang paling sering digunakan yaitu peretasan, spam-call, dan doxing.

Hemi menilai demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran khususnya dalam hal kebebasan berpendapat meskipun reformasi telah berjalan 24 tahun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News