300 Juta Orang Menderita Depresi, Setiap 40 Detik Terjadi Kasus Bunuh Diri

300 Juta Orang Menderita Depresi, Setiap 40 Detik Terjadi Kasus Bunuh Diri
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. Eka Viora, SpKJ, (tengah). Foto: Istimewa for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada 2017 menyatakan, gangguan depresi kini menduduki peringkat keempat penyakit di dunia. Sekitar 300 juta dari total populasi dunia menderita depresi.

Meski demikian, tingginya angka prevalensi gangguan depresi tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman mengenai gangguan ini di dalam masyarakat. Terlebih lagi ada banyak stigma beredar mengenai depresi dan menghambat orang dengan depresi mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal.

Depresi adalah suatu kondisi medis yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis gejala: gejala terkait suasana hati (suasana hati yang buruk, minat yang rendah, kecemasan, motivasi yang rendah, dsb), gejala kognitif (gangguan konsentrasi, kesulitan dalam membuat rencana, pelupa, lambat dalam menanggapi dan bereaksi, dsb), dan gejala fisik (nyeri, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dsb).

Meskipun manifestasi utama dari gangguan ini berupa suasana hati yang buruk dan perasaan sedih, penting untuk mengingat bahwa gejala-gejala kognitif dan fisik dapat berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada pasien dan memengaruhi kualitas hidup mereka.

BACA JUGA: Kisah Brian Handika, Honorer Menyambi Loper Koran, Menang Pilkades

Pada beberapa pasien, depresi dapat memunculkan pikiran bunuh diri hingga tindakan bunuh diri itu sendiri.

WHO pada 2017 memerkirakan bahwa setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri. Deteksi dini dan perawatan yang tepat dapat meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, mengurangi beban emosi dan beban keuangan yang timbul oleh gangguan depresi ini.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. Eka Viora, SpKJ, menjelaskan, banyaknya stigma yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapatkan dukungan yang tepat.

Stigma tersebut menghambat orang dengan depresi untuk mencari dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal.

"Depresi lebih sering dilihat sebagai aib daripada penyakit karena berkenaan dengan kesehatan mental, bukan fisik," kata Dokter Eka, Sabtu (22/6).

Data WHO menunjukkan, gangguan depresi kini menduduki peringkat keempat penyakit di dunia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News