7 Alasan Perlunya Hukuman Berat Bagi Koruptor

7 Alasan Perlunya Hukuman Berat Bagi Koruptor
ILUSTRASI. FOTO: DOK.JPNN.com

“Konstruksi pasal 3 yang mensyaratkan adanya jabatan atau kekuasaan yang disalahgunakan relatif lebih ringan pidana minimumnya dibanding konstruksi pasal 2 yang minimum pidananya empat tahun,” tuturnya.

Ketiga, ia melanjutkan, pengenaan denda pidana yang rendah. Selain pidana pokok berupa pidana penjara, pasal  10 ayat (4) KUHP mengatur tentang pidana denda. 

Dalam konteks penjeraan, kombinasi antara hukuman penjara dan denda dimaksudkan untuk menghukum pelaku korupsi seberat-beratnya sehingga timbul efek jera. “Sayangnya kondisi tersebut tak terjadi di tahun 2015," ujarnya.

Dia menjelaskan, tercatat pada 2015, sedikitnya 309 terdakwa dikenakan denda ringan yakni Rp 25 juta - Rp 50 juta. 

Di samping itu juga masih terdapat kemungkinan terdakwa tak membayar denda dan  menggantinya dengan pidana kurungan yang lamanya relatif singkat. "Padahal UU Tipikor dalam pasal dan 3 menyebutkan denda pidana yang dapat dikenakan kepada terdakwa," ungkap Aradila.

Keempat, lanjut Aradila,  disparitas putusan masih menjadi persoalan serius. Saat upaya menghukum kejahatan luar biasa korupsi dengan seberat-beratnya terus didorong, lembaga peradilan justru menimbulkan persoalan disparitas. 

Setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa disparitas putusan menjadi hal yang penting untuk mendapat perhatian serius. Pertama, disparitas putusan pada akhirnya akan menciderai rasa keadilan masyarakat. 

Disparitas membuat putusan pengadilan menjadi diragukan publik. Hal ini disebabkan karena perkara yang serupa diputus berbeda. 

JAKARTA – Indonesia Corruption Watch menemukan bahwa vonis terhadap terdakwa korupsi masih ringan. Peneliti ICW Aradila Caesar mengatakan,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News