7 Alasan Perlunya Hukuman Berat Bagi Koruptor

7 Alasan Perlunya Hukuman Berat Bagi Koruptor
ILUSTRASI. FOTO: DOK.JPNN.com

Dalam konteks korupsi disparitas membuka peluang memutus perkara korupsi dengan kerugian negara besar untuk diputus lebih ringan dibandingkan perkara dengan nilai kerugian negara kecil. Kedua, dalam  kondisi yang ekstrim disparitas putusan bisa terjadi karena adanya transaksi jual beli putusan. Hal ini dikarenakan hakim  yang memiliki kemandirian dan independensi dapat memutus sebuah perkara korupsi sesuka hatinya. “Tanpa pertimbangannya yang dapat dipertanggungjawabkan," kata dia.

Kelima, kata dia, sejak  2013 hingga 2015 aktor yang paling banyak terjerat korupsi adalah yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta pihak swasta. Kedua aktor yang mendominasi putusan Pengadilan Tipikor mengindikasikan adanya persoalan serius terkait hubungan kedua aktor tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. "Besar kemungkinan sektor pengadaan barang dan jasa masih menjadi primadona sektor yang dibajak untuk meraup keuntungan," ungkap Aradila. 

Eksekutif dalam menjalankan kewenangannya juga memiliki peran dalam upaya memberatkan hukuman bagi koruptor. Jika berkaca pada aktor  pelaku korupsi sepanjang  2013 dan 2014 aktor dari kalangan PNS Pemkot/Pemkab/Pemprov adalah yang terbanyak.

Karenanya upaya reformasi birokrasi dan langkah-langkah lain harus segera diambil untuk memutus rantai korupsi yang dilakukan PNS. 

Keenam, minimnya tuntutan dan hukuman berupa pencabutan hak untuk koruptor yang terbukti bersalah. Di 2014, Pengadilan Tipikor telah menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada Akil Mochtar dan Djoko Susilo. Sayangnya penjatuhan pidana tambahan tak terjadi di tahun 2015 maksimal. Pengadilan Tipikor dan Kejaksaan harus memulai untuk menuntut dan menjatuhkan pidana tambahan baik berupa pencabutan hak politik, pencabutan hak remisi serta dana pensiun dan lain-lain. 

Ketujuh, tegas dia, buruk ya pengelolaan informasi di Mahkamah Agung. Dalam tren vonis masih banyak ditemukan pengadilan yang tidak memperbarui putusan dalam perkara korupsi. Meskipun Mahkamah Agung telah mengklaim bahwa lingkungan peradilan di bawahnya sudah 100 persen mengunggah putusan di seluruh Indonesia, nyatanya masih banyak file putusan yang tidak terbaca dan tidak lengkap putusannya.(boy/jpnn)


JAKARTA – Indonesia Corruption Watch menemukan bahwa vonis terhadap terdakwa korupsi masih ringan. Peneliti ICW Aradila Caesar mengatakan,


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News