Air Semut

Oleh Dahlan Iskan

Air Semut
Foto: disway.id

Tidak ada jalan lain: harus mendatangkan dari sungai yang jauh itu. Pipa besar digelar di bawah gurun. Sejauh 300 km lebih. Sampai ke lokasi pengolahan di luar kota Kelamayi.

Saya jadi ingat pemimpin Libya, Kolonel Muammar Gaddafi. Yang membangun 'sungai' di bawah gurun pasir Sahara. Sejauh 400 km. Dari sebuah sungai di wilayah selatan. Ke ibu kota Libya Tripoli.

Bagi Tiongkok proyek seperti itu tidak baru. Sekarang ini Beijing pun mendatangkan air dari Sungai Chang Jiang. Dari wilayah selatan yang rendah. Dipaksa mengalir ke utara yang tinggi. Sejauh 1.500 km. Menyeberangi banyak sungai lainnya.

Itulah satu-satunya sungai yang mengalir ke arah utara. Tepatnya, dipaksa mengalir ke utara. Padahal semua sungai di Tiongkok mengalir dari barat ke timur.

Saya bermalam di Kelamayi. Menikmati makanan Xinjiang di kota yang seperti bukan Xinjiang. Yang tidak ada huruf Arab di nama-nama toko, kantor, atau restorannya.

Namun nikmatnya sama. Kambingnya, mi kenyalnya, dan naannya. Hanya saja lebih sedikit lima 'i' nya.

Di malam hari kota ini seperti siang: mandi cahaya. Listriknya seperti dibuang-buang. Sepanjang malam lampu tidak dimatikan. Gedung-gedung tinggi dihias dengan cahaya. Sampai pagi.

Udaranya lagi enak. Di malam hari. Kami sengaja makan di resto yang agak jauh. Agar bisa berjalan membelah kota. Setelah sehari itu tidak berolahraga.

Pulang makan kami jalan kaki lagi. Sambil menghilangkan kambing di darah.

Air memang sumber kehidupan, tetapi gula juga selalu mengundang semut. Dan semut itulah yang kadang mendatangkan air kehidupan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News