Airmata Likas untuk Gelar Pahlawan Nasional Djamin Ginting

Airmata Likas untuk Gelar Pahlawan Nasional Djamin Ginting
Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Likas Ginting, Ahli Waris Almarhum Letjen Djamin Ginting pada acara pemberian anugerah Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11). Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Almarhum Letjen Djamin Ginting, Almarhum Sukarni Kartodiwirjo, Almarhum KH Abdul Wahab Hasbullah dan Almarhum Mayjen TKR HR Mohamad Mangoendiprojo. Foto : Ricardo/JPNN.com

Meski sudah termakan usia Likas mengingat banyak kenangannya bersama sang suami. Terutama ketika sang suami ikut dalam
Operasi Bukit Barisan. Saat itu, kata dia, operasi tersebut dilakukan dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Nainggolan di Medan Sumut.  Djamin memimpin operasi yang dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini, maka pasukan Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli.

"Saya bangga bersama dia dan bangga dengan gelar ini, karena saya juga ikut memperjuangkan kemerdekaan ini, sepanjang Bukit Barisan itu," ungkap Likas.

Sebagai Komandan Brigade 3 Divisi X, Djamin juga memimpin perang gerilya di Tanah Karo, Tanah Alas, Langkat Hulu, Deli Hulu, dan Serdang Hulu di wilayah Sumatera Timur. Pada tahun 1954 sebagai Komandan Resimen Infanteri 2 Sumatera Timur ia ikut memimpin penumpasan pemberontakan DI/TII di Aceh yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureu'euh.

Dalam keadaan UU Keadaan Bahaya tahun 1956 selaku Penguasa Daerah Perang Daerah Djamin juga melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Sumatera Timur.  Ia menghadapi tantangan dari organisasi-organisasi buruh tani komunis yang juga melaksanakan nasionalisasi.

Di antara berbagai peristiwa perang yang menegangkan dalam hidupnya bersama Djamin, Likas mengaku mengingat sebuah momen di mana ia menyadari bahwa suaminya adalah seorang pejuang untuk negara. Bukan hanya seorang ayah dalam keluarga.

"Satu kali, tiba-tiba datang kapal terbang pagi-pagi. Saya sakit, suami saya dengan ajudan yang lain lompat keluar. 52 kali ditembaki kapal terbang itu. Saya merangkak ke tepi sungai dengan anak saya yang masih kecil. Tahu-tahu datang ajudan katanya 'ayo Ibu ke tempat bapak. Saya bilang, kenapa bukan Bapak yang jemput saya. Ajudannya bilang 'Ibu kalau mati, mati satu. Bapak kalau mati, mati satu resimen. Jadi terserah Ibu, Ibu ikut atau tidak," kisah Likas menirukan pengalamannya. 

Likas sempat tertegun sampai akhirnya menyadari posisi suaminya dan memilih mengikuti ajudan utusan Djamin.

"Itu peristiwa yang paling saya kenang," tutur Likas tersenyum.

PEREMPUAN yang hampir mencapai usia 1 abad itu dengan semangat mendorong kursi rodanya di dalam Istana Negara. Dia adalah Likas Br Tarigan (90).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News