Alkisah Tjilik Riwut

Alkisah Tjilik Riwut
Tjilik Riwut. Foto: Public Domain.

"Dari catatan beliau pula," sambung Nila, "kutemukan info bahwa Mohing Asang adalah nyanyian perang dan merupakan komando dari panglima perang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Ot Danom dengan dialek Siang-Murung."

Menurutnya, apabila panglima perang membunyikan salentak tujuh kali lalu terdengar Mohing Asang, maka pertempuran siap dilaksanakan.

Dalam catatan hariannya, Tjilik Riwut pun menggambarkan perjuangannya:

Penderitaan yang boleh dikatakan hampir belum pernah dienyam seumur hidup dialami. Dalam menjalani hidup selalu menjadi buronan musuh, terpaksa harus berhati-hati agar bisa lolos dari pengepungannya.

Suasana ujung bayonet musuh inilah yang menyebabkan kami tidak tentu tempat kediaman. Tidak tentu pula tempat beristirahat.

Kadang-kadang berlantaikan tanah, berkasurkan rumput basah, berselimutkan embun sejuk, beratapkan langit, berdindingkan kayu-kayu besar, berbantalkan akar, berlampukan bulan dan bintang.

Makan minum tidak tentu, berhujan, berpanas, berjemur, kebasahan, pendeknya beragam-ragam pengalaman yang harus kami lalui.

Meskipun demikian dorongan hasrat yang bernyala-nyala hingga ke tujuan suci bisa tercapai. Itulah yang agaknya yang menyebabkan semangat dalam jiwa kami "tak akan lekang oleh panas, tak akan lapuk oleh hujan”.

DIABADIKAN jadi nama bandara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut lakon utama bergabungnya Kalimantan ke Republik Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News