Baliho
Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sekarang ini bukan musim politik. Tidak ada pilkada, pemilu, atau pilpres.
Namun, di berbagai sudut kota besar bertebaran baliho berukuran besar berisi gambar-gambar tokoh-tokoh politik. Sebagian terang-terangan menjajakan diri untuk persiapan pilpres 2024.
Sebagian lainnya masih malu-malu untuk menjajakan diri. Ada yang berpose serius supaya dianggap berwibawa. Ada juga yang cengengesan supaya dianggap gaul dan akrab.
Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, Giring Nidji adalah nama-nama yang wajahnya bertebaran di perempatan dan pengkolan jalan. Ada yang berwajah serius ada yang semringah, berusaha mencuri perhatian.
Baliho, billboard, spanduk, dan alat peraga kampanye luar ruangan lainnya adalah benda mati yang hanya bisa melakukan komunikasi satu arah.
Dalam pendekatan semiologi Barthez baliho adalah penanda (signifier) untuk mengungkapkan petanda (signified) dalam bentuk gambar atau kalimat.
Gambar dan kalimat ini bisa menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Ada tafsir denotasi dan konotasi. Denotasi adalah arti yang sesungguhnya, dan konotasi adalah arti yang berbeda dari arti sesungguhnya.
Apa yang tersurat bisa saja berbeda dengan apa yang tersirat. Gambar yang serius dimaksudkan supaya terlihat berwibawa.
Puan menyindir Ganjar, karena lebih sibuk mengerek popularitas. Sekarang Puan mengekor Ganjar.
- May Day 2025, Puan Maharani Bicara Perjuangan Menyejahterakan Buruh
- Tunjuk Airlangga Jadi Negosiator Tarif AS, Prabowo Dapat Pujian
- Gus Imin Berhalalbihalal dengan Kiai Azaim dan Nyai Ju di Sukorejo
- Indonesia Terbuka soal Kritik Terhadap QRIS
- Hadirkan Pelaku Usaha Hingga Akademisi, Kemenko PM Gelar Uji Publik Program Berdaya Bersama
- Bertemu Menkeu AS, Menko Airlangga Bahas Tarif Resiprokal hingga Aksesi OECD