Bamsoet: Rekomendasi MPR 2014-2019 Adalah PPHN, Bukan GBHN

Bamsoet: Rekomendasi MPR 2014-2019 Adalah PPHN, Bukan GBHN
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat menjadi narasumber Focus Group Discussion 'Rumusan dan Posisi Haluan Negara yang Dapat Diimplementasikan Saat ini', yang diselenggarakan LEMHANAS RI di Jakarta, Senin (20/1). Foto: Humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan setelah mengalami empat kali perubahan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) tak lagi memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Fungsi GBHN digantikan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025.

Menurut Bamsoet, dalam Lampiran UU No. 17/2007, Bab Pendahuluan angka 4 dan 5 disebutkan: Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye.

“Namun pada praktiknya, saat ini keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya," ujar Bamsoet saat menjadi narasumber Focus Group Discussion 'Rumusan dan Posisi Haluan Negara yang Dapat Diimplementasikan Saat ini', yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (LEMHANAS RI), di Jakarta, Senin (20/1/20).

Turut hadir antara lain Gubernur LEMHANAS Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, Sekretaris Utama LEMHANAS RI Komjen Pol Mochamad Iriawan, Deputi Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (BAPPENAS RI) Bambang Prijambodo, Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Firman Noor, Tenaga Profesional Bidang Politik dan Ideologi LEMHANAS RI Kisnu Haryo, dan Pakar Ilmu Politik The Habibie Center Prof. DR. Indria Samego.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, selain ketiadaan GBHN, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah disisi lain juga berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional.

"Lahirnya UU. No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur perencanaan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan, di dalamnya juga belum memberikan jaminan sinergisitas pembangunan nasional dan daerah. Maupun keberlanjutan antara satu periode presiden ke presiden penggantinya," tutur Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, ketersebaran panduan arah pembangunan dari berbagai UU, justru malah menimbulkan kerancuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Untuk mencegah kerancuan ini di satu di sisi, dan agar pelaksanaan pembangunan bisa terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik pada sisi lainnya, maka diperlukan penataan kembali rencana pembangunan nasional dalam satu naskah haluan negara yang utuh dan komprehensif.

"Secara filosofis, sistem perencanaan pembangunan nasional sebagaimana model GBHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya rakyatlah melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR RI yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang merancang dan menetapkannya," urai Bamsoet.

Subtansi PPHN yang merupakan visi antara dari visi abadi bangsa Indonesia harus mampu menggambarkan wajah Indonesia 50 bahkan 100 tahun ke depan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News