Banyak Pelaku Usaha Belum Bangkit, Penurunan Suku Bunga Bukan Solusi Jitu

Banyak Pelaku Usaha Belum Bangkit, Penurunan Suku Bunga Bukan Solusi Jitu
Ilustrasi perbankan. Foto: JPNN

Meskipun SBDK perbankan telah turun, namun likuiditas perbankan yang melimpah menyebabkan perbankan harus mengeluarkan biaya dana yang relatif lebih tinggi. 

Dengan begitu, tantangan perbankan saat ini adalah bagaimana menjawab permintaan kredit yang rendah, di sisi lain dana pihak ketiga tumbuh lebih tinggi dari pada pertumbuhan kredit.

“Tentu saja, pemerintah wajib terus mendorong stimulus dan insentif kepada sektor riil, juga bansos kepada rakyat kecil untuk mendorong kenaikan konsumsi rumah tangga. Kiat itu amat mahal memang, tetapi manjur untuk menyuburkan konsumsi rumah tangga guna menaikkan pertumbuhan ekonomi. Ya, (penurunan SBDK dan suku bunga acuan) bukan senjata ampuh,” serunya.

Berdasarkan hasil analisa Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) yang dipublikasikan Januari 2021, diketahui faktor paling elastis atau memengaruhi pertumbuhan kredit adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.

Selain dua variabel ini, faktor lain yang turut berkontribusi membuat naik/turunnya permintaan kredit adalah suku bunga, NPL, dan penjualan ritel.

Himbara juga mengungkapkan bahwa sudah tepat pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus yang diterima masyarakat bawah, yang diberikan kepada pengusaha mikro dan kecil.

Karena dengan stimulus tersebut dapat menggerakkan perekonomian, khususnya mengungkit daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga.

Penurunan bunga acuan sebenarnya juga telah diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan, salah satunya adalah BRI yang sepanjang 2020, telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 bps – 150 bps. 

Penurunan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRRR), yang dinilai bukan menjadi senjata ampuh untuk mengerek permintaan dan penyaluran kredit perbankan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News